Lihat ke Halaman Asli

Akankah Kemeriahan 14 Februari berlanjut di 21 Februari....?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kemeriahan 14 Februari telah berlalu, jejaknya terlihat dimana-mana, media cetak atau elektronik mewarnai liputannnya dengan berbagai pernak-pernik yang berhubungan dengan simbol kasih sayang. Pada kesempatan itu berbagai cindera  mata laku laris dipasaran, seperti mawar, coklat, dan boneka. Berbagai acara digelar baik yang kelompok/komunitas maupun yang perorangan/pribadi, yang istimewa yang pribadi ini biasanya acara digelar diawali dengan kunjungannya ke apotek atau toko yang menjual peralatan tempur(kondom) dan diakhiri dengan pertempuran di sengit dimedan laga. Namun apakah kemeriahan 14 Februari itu menular atau bahkan menjalar pada tanggal 21 Februari?

Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya memang ada apa dengan tangal 21 Februari, karena saya yakin banyak diantara kita bahkan kaum akademis pun banyak yang tidak ingat dengan hajatan besar 21 Februari.
Pada tanggal 17 November 1999 badan dunia bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan (Unesco)  menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari Bahasa Ibu, sebagai pengakuan dari perayaan hari gerakan bahasa di Bangladesh.

Sejatinya  kemeriahan yang telah berlalu itu akan terulang kembali pada 14 Februari, tapi apa lacur dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya kemeriahan itu tidak pernah muncul. Padahal banyak instansi-instansi yang berkompeten untuk menyelenggarakan perhelatan yang berkaitan dengan hari bahasa ibu.
Berdasarkan hasil penelitian pemetaan bahasa yang dilakukan oleh para ahli linguistik bahwa sekurang-kurangnya ada 742 bahasa daerah di Indonesia, dari jumlah itu hanya ada 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang, selebihnya berpenutur dibawah satu juta orang dan 169 diantaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang.

Bahasa-bahasa yang tercancam punah itu tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Antara lain bahasa Lom (Sumatera) hanya 50 penutur. Di Sulawesi bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Punan Merah 137 penutur, Kareho Uheng 200 penutur. Wilayah Maluku bahasa Hukumina satu penutur, Kayeli tiga penutur, Nakaela lima penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif empat penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.

Mungkin lima atau sepuluh tahun kedepan bahasa ibu kita akan masuk dalam daftar bahasa daerah yang berpotensi punah. Sebelum kemungkinan kepunahan bahasa daerah itu terjadi maka upaya-upaya pelestarian dan pemberdayaan harus dilakukan sesegera mungkin secara serius, terus menerus dan berkesinambungan.

Upaya-upaya itu tidak mutlak kewajiban pemerintah semata melainkan kemauan masyarakat penuturnya untuk berperan serta dalam menyelamatkan bahasa daerahnya masing-masing. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain:1) revitalisasi budaya 2) memberdayakan kearifan lokal 3) pemerthanan bahasa daerah dengan membuat Perda penggunaan bahasa daerah 4) dan upaya-upaya lainnya yang relevan dengan maksud dan tujuan pemberdayaan dan pelestarian bahasa daerah.

Mungkin 21 Februari yang akan datang ini dapat dijadikan sebagai momentum  kebangkiatan kembali semangat kita dalam melestarikan budaya kita terutama bahasa ibu sebagai bahasa kedaerahan yang menjadi penyokong bahasa nasional kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline