Saat revolusi industry, kemajuan teknologi, dan digitalisasi membawa manusia ke dunia masa depan yang gemilang, ternyata ada sebuah ironi yang tak terhindari dalam proses pembangunannya. Kala prosesnya, menanam benih kehancuran ekologis yang terus mengintai untuk semua generasi. Ternyata kemakmuran material yang kita lihat dan nikmati hari ini terwujud dari eksploitasi alam, yang terkadang lebih brutal dari film perang yang penuh dengan aksi kekejaman di dalamnya. Dan alam hanya pasrah menerima perlakuan terhadapnya.
Namun sejatinya alam tidak tinggal diam. Saat terompet peringatan dari pemanasan global semakin nyaring terdengar. Di saat gletser di Alaska dan Antartika mulai mencair dengan cepat. Kala burung-burung endemik bermigrasi tidak pada waktunya. Dan di saat ratusan jiwa tergetak tanpa nyawa karena sengatan hawa panas luar biasa di beberapa belahan dunia. Maka kita dipaksa untuk mempertanyakan : Apakah planet bumi kita dan masa depannya dipertarunkan bahkan dikorbankan untuk menggapai kemakmuran dalam makna sesungguhnya?
Sebuah Stimulus Mengalisis
Artikel membahas konsep Kemakmuran Berkelanjutan, Sebuah Model Bisnis Masa Depan, ditulis Dr.Acong Dewantoro Marsono, M.B.A. Seorang Dosen Senior di Perbanas Institut dalam buku "Beyond Value" Strategis for a Sustainable Futere, memberi stimulus menganalisis Sustainable Prosperity dengan gaya lebih popular. Membumikan sebuah konsep besar agar dapat dipahami dengan mudah.
Buku penuh gagasan dan inspirasi segar akademisi dan praktisi ini merupakan seri ke-2 dari kiprah Perbanas Institut untuk dunia Pendidikan dan Bisnis Berkelanjutan. Buku edisi pertamanya berjudul "Beyond Profit" The Power of Sustainability Strategy.
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Rektor Perbanas Institut mengatakan."Keunggulan buku ini terletak pada pendekatan holistiknya yang mengintegrasikan tiga dimensi fundamental : partnership, prosperity, dan peace".
Pertumbuhan Ekonomi, Sebuah Mantra Universal
Para ekonom menjadikan Gross Domestic Product-GDP seakan mantra bisnis universal untuk mengukur kesejahteraan. Angka dan pertumbuhan ekonomi menjadi parameter tingkat keberhasilan. Semua tidak ada salahnya. GDP sejatinya memang mengukur kinerja ekonomi. Pertumbuhan GDP dari waktu ke waktu mengindikasikan kecepatan perekonomian berkembang. Wujud angkanya yang positif berarti ekonomi sehat, sedangkan kontraksi menandatakn resesi.
Ia juga menjadi indikator kesejahteraan material. Angka yang tinggi bermakna standar hidup yang lebih baik, walaupun hanya mencakup kesejahteraan material. GDP menjadi panduan kebijakan ekonomi. Dengannya penguasa negara dan bank sentral merancang kebijakan fiskal (anggaran negeri), dan mengatur kebijakan moneter (suku bunga). Satu lagi, dengannya kita bisa memperbandingkan ukuran dan kekuatan ekonomi antar bangsa, baik secara nominal maupun berdasarkan paritas daya beli.
Dunia memang sangat terobsesi dengan angka, dan pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan. Seolah semua adalah mantra universal untuk mendapat kesejahteraan. Namun ketika banjir bandang sering melanda kota, kebakaran hutan meluas tanpa mampu mengendalikannya, suhu semakin panas, udara semakin sesak dan pengap, dan lautan sering bergejolak membara, lalu apa artinya semua angka hebat itu?
Jason Hickel dalam buku Les is More mengkritik keras para kapitalis ekstratif, merujuk pada sistem ekonomi yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam secara massif untuk menopang produksi, konsumsi, dan akumulasi modal. Ia menyebut system ini sebagai "Perang terhadap kehidupan".
Poin utama kritiknya adalah eksploitasi sumber daya dan pertumbuhan tak terbatas di atas keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan sosial. Argumennya menyatakan: masyarakat modern terjebak dalam logika konsumsi tak berujung. Kapitalisme mendasarkan keberhasilannya pada pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, meskipun sumber daya planet bersifat terbatas.