Lihat ke Halaman Asli

Buddha Itu Agama Atau Filsafat Ya?

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Membaca dan menikmati pemikiran Buddha sangat menarik. Termasuk bagi saya yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim. Bagi saya Buddha bukanlah sebuah agama, Buddha adalah ajaran untuk berpikir bebas. Jadi, apakah berpikir bebas itu sebuah agama? Tentu saja bukan. Berpikir kok agama. Kalo agama sebagai hasil berpikir, memang iya.

Salah satu yang saya temukan bahwa dalam Buddha tidak dipaksa untuk langsung percaya pada ajarannya. Ada yang disebut ehipassiko, yaitu datang, lihat, dan buktikan sendiri kebenarannya, bukan datang dan percaya. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran agama lainnya.

Dalam Kalama Sutta dijelaskan bahwa Buddha mengajarkan pengikutnya untuk jangan percaya pada 10 hal, sebelum memeriksanya secara seksama, yaitu: 1) tradisi lisan, 2) ajaran turun temurun, 3) kata orang, 4) firman kitab suci, 5) penalaran logis, 6) penalaran lewat kesimpulan, 7) perenungan tentang alasan, 8) penerimaan pandangan setelah memikirkannya, 9) pembicara yang kelihatannya meyakinkan, dan 10) atau karena kita berpikir bahwa orang itu guru kami.

Nah, konsekuensinya adalah ketika kita membaca Buddha maka kita pun bebas untuk meragukan semua dogmanya. Sangat wajar jika seorang pembelajar Buddha tidak percaya pada karma, reinkarnasi, dan aneka kepercayaan supranatural dalam ajaran Buddha lainnya yang tidak masuk akal. Kita dituntut untuk mengalaminya sendiri apakah hal tersebut benar atau tidak.

Bagi saya Buddhisme tergolong unik. Salah satunya adalah pada konsepnya yang tidak berparadiigma teosentris/idol sentris. ”Tuhan” bukanlah persoalan yang utama di dalam Buddhisme. Seorang atheis, agnostis, atau theis, dapat saja menjadi penganut Buddha. Dengan begitu, fundamen ajaran Buddha bukanlah dogma-dogma teologi, tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri, yakni pikiran(minds).

Sehingga setiap orang dapat menjadi Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha, apalagi jadi bikhsu. Buddha mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak peduli agama apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk beroleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang.

Sebaliknya, siapapun yang menganut agama Buddha tetapi tidak mempraktikkannya, hanya akan beroleh sedikit harapan akan pembebasan dan kebahagiaan. Dalam agama Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat mencapai Kebuddhaan.

Dalam ajaran Buddha yang murni, kita ditantang untuk membuktikan sendiri apa yang termaktub di dalam ajarannya. Bukan percaya karena diberitahu oleh orang lain. Sebagai contoh, Buddha mengajarkan tentang konsep Karma. Apakah itu sebuah kebenaran? Tidak ada yang tahu faktanya. Untuk menjawabnya, kita diminta untuk mencari jawaban sendiri dengan membuktikannya.



Jikapun banyak orang telah membuktikannya, tetap saja pada akhirnya kitamasih harus menemukan jawaban kita sendiri. Apa yang orang lain temukan hanya sebagai referensi untuk kita, terlepas dari siapa pun orang tersebut, bahkan jika itu guru agama Buddha kita sekalipun. Intinya ada pada kata buktikan dulu baru kau yakini, bukan yakini dulu baru kau buktikan.

Jadi, jelas dengan sistem pengajaran tersebut, bukankah berarti Buddhisme adalah sebuah filsafat untuk berpikir bebas? Hal ini berbeda dengan agama pada umumnya yang kebanyakan berbicara tentang kepercayaan. Buddhisme tidak memaksa kita untuk percaya pada sesuatu. Mereka hanya berbagi dengan kita apa yang telah mereka ketahui.



Setiap kali Buddhisme memberitahu kita sesuatu, itu dimaksudkan untuk referensi dan kita tidak diwajibkan mempercayainya tanpa membuktikannya sendiri terlebih dahulu. Jadi, apa ini sebuah agama? Jelas agama bukan seperti ini menurut saya.

Simpulan saya adalah: “Ajaran Buddha yang murni adalah filsafat yang mengajarkan cara mencari jawaban dari dalam diri kita sendiri”.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline