Ribut-ribut seni tradisional gordang sambilan yang akan dipatenkan oleh Malaysia sebagai warisan budaya dunia asal Malaysia mengingatkan saya pada Mandailing, tempat asal mertua saya. Ayah mertua saya memang berasal dari Kotanopan, sebuah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), dan kini mereka menetap di kota Bandung. Saat lebaran tahun 2008 saya berkesempatan mudik bareng keluarga ke kota ini.
Suatu waktu seusai shalat hari raya Idul Fitri, seperti biasa kami berkunjung ke saudara yang berada di kecamatan lain, dan saat itu kebetulan di desa tersebut sedang ada keramaian berupa pentas gordang sambilan, plus layar tancap. Sebagai orang yang bukan dari etnis Mandailing, saya sangat menikmati alunan musik gordang. Iramanya mengalun rancak, menghentak, dan penuh semangat. Kalo di daerahku mungkin hampir sama dengan rampak kendang. [caption id="attachment_195535" align="aligncenter" width="354" caption="seni tradisional gordang sambilan di kotanopan (dok: arkus)"][/caption] [caption id="attachment_195537" align="aligncenter" width="354" caption="para pemuda memainkan gordang sembilan (dok: arkus)"] [/caption] [caption id="attachment_195538" align="aligncenter" width="354" caption="gordang sambilan memang dari mandailing (dok: arkus)"] [/caption]
Sesuai namanya, gordang sambilan memang terdiri dari sembilan gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Kalau diperhatikan, terlihat bahwa ukuran besar dan panjang kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil. Mulai dari yang paling panjang ke yang lebih pendek.
Seperti gendang pada umumnya, tabung resonator gordang sambilan terbuat dari kayu. Kayu tersebut dilobangi sedemikian rupa dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan atau kulit sebagai alat pengikatnya. Kayu tersebut kemudian diberi cat atau pernis sesuai kebutuhan, warna yang umum adalah coklat muda atau hitam.
Untuk membunyikan gordang sambilan digunakan kayu pemukul. Masing-masing orang memukul satu gordang dengan dua pemukul kayu. Semua yang memainkan adalah laki-laki. Katanya, untuk acara resmi biasanya mereka menggunakan baju adat, tetapi dalam acara idul fitri yang saya lihat ini, para penabuh menggunakan pakaian bebas. Pria setengah baya dan juga kaum muda terlihat menabuh gordang secara bergantian.
Selain sembilan pasang gendang, instrumen musik tradisional gordang sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar. Gong yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Sebagai kesenian tradiisional Mandailing, saat ini gordang sambilan digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional, dan acara pembukaan berbagai upacara besar, serta untuk merayakan hari raya Adul Fitri seperti yg saya saksikan.
Terkait rencana klaim Malaysia terhadap gordang sambilan, tentunya kita harus tetap berkepala dingin. Secara teori sesuatu dapat dibuatkan hak patennya jika sesuatu tersebut adalah hasil dari pengembangan pemikiran seseorang yang kemudian diwujudkan dalam sebuah benda atau hasil karya. Karya tersebut juga harus jelas siapa penciptanya.
Gordang sambilan sebagai seni tradisional turun temurun jelas merupakan satu di antara puncak-puncak karya etnis Mandailing. Secara teori gordang sambilan takkan bisa dipatenkan, karena tidak tercatat jelas siapa penciptanya. Tapi masyarakat pasti akan tahu darimana seni tradisional luar biasa ini berasal.
Sebenarnya suat seni yang makin banyak dimainkan oleh masyarakat di luar pencetusnya tentunya sangat membanggakan, karena berarti orang luar sendiri pun menganggap bahwa seni tersebut memang luar biasa. Tentunya asal tidak diklaim apalagi mau dipatenkan sebagai hasil karya cipta sendiri.
Horas Mandailing!
Referensi:
http://www.mandailing.org/ind/warisan-gs.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H