Sewaktu presiden Jokowi meresmikan rumahsusun Pasar Rumput, masih banyak yang bertanya dan basak-bisik, "koq namanya pasar rumput ya?"---"kenapa bisa jadi namanya pasar rumput?" -- "gimana ceritanya bisa dinamakan pasar rumput? -- Kira-kira semacam itulah pertanyaannya.
Letaknya di Jalan Sultan Agung, kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Di sisinya mengalir air banjir kanal. Orang menyebutnya kali Malang, yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Pusat.
Pada masa tempo dulu, di trotoar sepanjang antara terminal bus Manggarai sampai dengan markas polisi militer Guntur ditumbuhi pohon cemara yang rimbun. Di situ pula berderet pertokoan, di antaranya milik warga Tionghoa. Mulai dari toko emas, sepatu, pakaian, elektronik, obat-obatan, mainan anak, baik bikinan lokal maupun impor, sampai restaurant.
Kemudian, sejak dibangunnya proyek pembelanjaan Pasar Rumput menggantikan pasar tradisional dan pelebaran jalan Sultan Agung, warga Tionghoa tidak ada lagi yang bermukim di sana.
"Kagak tau pindahnye pade kemane" kata seorang warga mengomentari hengkangnya warga Tionghoa dari kawasan Pasar Rumput. "Dulu kite masih ngalamin barongsai maen di sini" tambahnya. Karena pemukiman warga Tionghoa yang rata-rata pemilik toko, berhimpitan dengan warga"kampung", adaptasi sangat dengan mudah terjadi. "Kalo lebaran Cina kite suka dapet kue ame angpao" katanya lagi. Lebaran Cina adalah istilah warga kampung untuk menyebut hari raya tahun baru imlek.
Meski sekarang masih ada tersisa keluarga Tionghoa di kawasan itu, namun tidak seperti dulu. Toko emas, kelontong, sepatu, restaurant, tidak berbekas lagi. Kini di sepanjang trotoar yang kian sempit penuh oleh pedagang sepeda, baik yang bekas maupun sepeda yang masih baru.
"Sebenarnye dari dulu juga ude ade pedagang sepede, tapi tempatnye di pinggir kali" cerita Sarbini, 76th, warga Pasar Rumput asli. Sepeda buatan Inggris, Perancis, Itali, yang bekas tentunya, berjajar di tempat terbuka, di sepanjang bantaran kali Malang. "Makenya jangan heran, pedagang sepede kulitnye pade angus kebakar matahari" katanya lagi.
Pedagang sepeda waktu itu kebanyakan bermukim di kampung seputar kawasan Pasar Rumput. Setiap pagi mereka menggelar, mencuci dagangannya dengan air sungai yang kala itu masih layak dan jernih untuk dipakai mencuci. Dan ketika sore menjelang, mereka hilir-mudik membawa sepeda-sepedanya kembali ke gang-gang dengan cara mengendarai dua sepeda sekaligus.
Suatu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang pedagang sepeda. Keahlian lainnya, menaksir harga beli, karena mereka tidak hanya menjual, tapi juga menampung sepeda bekas dalam kondisi apapun. Kondisi sepeda yang serusak apapun mereka perbaiki di bengkel yang terdapat di perkampungan sekitar situ.
Bengkel ini memiliki tenaga ahli yang turun temurun yang dapat menjadikan sepeda rusak menjadi mentereng, lengkap dengan merk seperti aslinya. Bengkel sepeda itu, dikelola oleh Wak Jumali beserta anak-anaknya. Kini bengkel itu tak berbekas lagi. Bisingnya suara las pompa, bau cat, dan pedagang sepeda yang modar-mandir di situ hanya tinggal cerita.
Sama dengan cerita kandang kuda yang letaknya persis berhadapan dengan bengkel Wak Jumali. Hanya dipisahkan oleh lapangan yang dipakai olahraga bulutangkis, kuda-kuda di situ sama sekali tidak terusik oleh kesibukan bengkel. Bahkan sewaktu warga mengadakan kegiatan sosial atau turnamen bulutangkis di situ, kuda-kuda pun seakan maklum, tidak membuat ulah yang macam-macam.