Lihat ke Halaman Asli

Eni Kus

wiraswasta

Tumbuhkan Sikap Skeptis terhadap Ujaran Kebencian di Tahun Baru

Diperbarui: 6 Januari 2023   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lokadata

Diantara kita mungkin masih ingat ketika Joe Biden memenangi Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020 lalu. Saat itu sebagai petahana Donald Trump alami kekalahan dan tidak terima atas kekalahan itu. Lalu gelombang ujaran kebencian menjadi hal yang tidak terhindari di media sosial. Donald Trump melalui akun twittenya memprovokasi followernya untuk menyerang istana AS agar menggagalkan pengukuhan Joe Biden sebagai Presiden. Dan memang, pengukuhan mereka tertunda.

Masyarakat Indonesia terlebih Jakarta pernah alami hal sama yaitu ketika Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dituduh menghina agama Islam. Saat yang bersamaan, kontestasi kekuasaan untuk jabatan Gubernur Jakarta tengah berlangsung pada tahun 2017.  Kampanye bernuansa SARA dan ujaran kebencian merajai media sosial, dan mempengaruhi citra Ahok. Ujaran kebencian menjadi hal yang sangat dominan saat itu bukan hanya pada masyarakat yang telah punya hak memilih (17 tahun ke atas) tapi juga para remaja dan anak kecil juga terjebak pada ujaran kebencian.

Tak cukup sampai di situ, masyakat di luar Jakarta juga terpengaruh dengan hal itu. Mereka mengamplifikasikan ujaran kebencian itu di berbagai platform media massa. Dan pola seperti itu dipakai juga saat Pilpres 2019. Ujaran kebencian bahkan fitnah dipakai oleh beberapa pihak untuk menyudutkan calon Presiden tertentu. Perang di media sosial tak terhindarkan dan membawa perpecahan pada bangsa kita.

Bahkan beberapa tahun sudah berlalu, tapi narasi-narasi yang membawa kebencian masih saja ada dan terlihat dipelihara. Penemuan Saracen menjadi bukti kuat bahwa upaya sistematis di media massa untuk memelihara ujaran kebencian itu nyata adanya.

Hal yang lemah pada masyarakat kita adalah sikap skeptis terhadap sebuah informasi. Tak jarang (dan selalu terjadi ) bahwa sebuah berita hanya dibaca judulnya tanpa ditelaah isinya, dan kemudian judul yang menyesatkan itu ditelan mentah-mentah. Begitu juga dengan media sosial. Banyak orang terjebak pada algoritma yang membawanya selalu pada circlenya yang mungkin saja membawa infomasi keliru. Terhadap hal itu orang kita cenderung menelan mentah-mentah dan tidak beesikap skeptis terhadapnya. Alhasil rasa benci itu makin menjadi dan jurang kebencian makin melebar.

Kini kita masuk pada setahun sebelum Pilpres 2024. Namun genderang rasa benci kian lama kian gemuruh, padahal nama-nama juga belum ditentukan.

Mari kita mengakhiri ini semua dan mulaikan dengan sikap kritis dan skeptis terhadap semua informasi baik formal maupun informal. Dengan begitu kita bisa berfikir dengan jernih dan bersikap lebih baik sebagai warna negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline