Lihat ke Halaman Asli

Catatan Sepabola Gerutuan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14295099011534633077

[caption id="attachment_379304" align="aligncenter" width="248" caption="aim7footballlovers.blogspot.com"][/caption]

Tidak terasa sudah 21 tahun aku hidup di negeri ini. Sebuah negri yang rakyatnya sangat mencintai olahraga bernama sepakbola. Bagi rakyat negeri ini, sepakbola adalah sekeping surga dan neraka selama 90 menit. Surga karena dengan melihat semangat pantang menyerah pemain dan sorak sorai penonton mampu menghilangkan keresahan hidup untuk sejenak. Neraka, karena karena sepakbola juga banyak nyawa melayang percuma hanya karena tidak dewasa menyikapi kekalahan.

Tapi, yang lebih membuatku sedih adalah, anak-anak yang juga ikut terkontaminasi orang-orang yang tidak beradab itu. Bayangkan bagaimana perasaanmu saat mendengar anak-anak penerus bangsa ini menyanyikan dan mengucapkan kata-kata tidak pantas dan rasis, kepada tim yang menjadi rival tim kesayangannya. Aku pikir, tidak hanya pengurusnya persepakbolaan negeri ini saja yang perlu untuk di didik. Penonton yang hanya bisa menuntut kemenangan dari pemain yang berkeringat di lapangan itu perlu juga di beri sebuah kaca, tepat di depan hidung mereka.

Jujur saja, Siapapun orang yang berada di negeri ini pasti sudah bosan menunggu. Kapan piala itu datang dan menyebarkan berita kemenangan. Seringkali ketika aku melihat surga 90 menitku itu, hanya menyisakan rasa sakit dan kekecewaan. Sial...!, kalah lagi. Bisa main bola nggak sih?, udah berapa lama megang bola tapi ngoper aja standarnya masih gitu-gitu aja?. Yup, aku nyaris selalu menggerutu seperti itu saat melihat pertandingan negara ini melawan kesebelasan negara lain. Bukannya, aku tidak menghargai keringat mereka. Aku justru menghargai dengan berpikir positif, ah mungkin turnamen selanjutnya piala itu akan singgah. Tidak terasa, wajah-wajah di kesebelasan tersebut sudah silih berganti, dan aku masih saja menunggu mereka yang memakai baju berlambangkan garuda itu memberikan piala itu untukku, untuk negeri ini. Aku tidak berharap piala dunia, cukup piala level regional itu saja sudah cukup. Setidaknya, kalaupun aku harus mati esoknya, aku bisa mati dengan tenang.

Apalagi, alamat nasib buruk belum juga sepertinya akan berlalu. Pengurus sepakbola yang katanya profesional ini, akhirnya di bekukan pemerintah karena tidak melaksanakan peraturan yang mereka tetapkan sendiri. Bagus, orang-orang yang sering sesumbar itu perlu di jewer sekali-kali. Sepakbola negara ini milik rakyat ini, bukan milik tuan anda yang duduk-duduk nyantai di eropa sana, minum kopi di kursinya mendengarkan laporan manis dari anda.

Dan bagi anda bapak menteri, setelah pembekuan ini anda lakukan, beri kami solusi konkrit, bukan wacana. Kalau cuma sekedar wacana dan harapan, hahaha..., kami sudah muak. Jadi, lebih baik anda sediakan kresek penampung muntahan kami. Tapi, aku yakin, keputusan anda adalah keputusan yang mempunyai tindak lanjut dan rencana yang jelas bapak menteri.

Terakhir, sebelum curhat ini aku tutup, harapanku untuk melihat Indonesia berjaya itu tetap dan pasti selalu ada. Meski muak, aku akan tetap dan pasti selalu menunggu hari di mana garuda mengepakkan sayapnya di angkasa raya akan datang. Dan semoga aku tidak mati duluan sebelum itu terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline