Di kalangan internal profesi apoteker, saat ini beredar ajakan untuk menolak Pasal 10 dan Pasal 15 pada rancangan Permenkes RI yang memuat praktik dokter mandiri, sementara di kalangan internal dokter pun beredar ajakan untuk melakukan protes ke Kemenkes melalui SMS agar draft Permenkes tersebut ditinjau ulang.
Ajakan melakukan protes yang tersebar di internal kalangan dokter itu mempermasalahkan rancangan Permenkes tentang praktik dokter perorangan di mana salah satu pasal dalam draft Permenkes itu adalah melarang dokter praktik perorangan melakukan dispensing obat. Padahal, seperti yang tertulis dalam ajakan itu sesuai Undang Undang Praktek Kedokteran dan Permenkes 2052, dokter diperbolehkan dispensing.
Entah data dari mana, dalam ajakan itu juga disebutkan bahwa saat ini ada sekitar 80% dokter praktik perorangan melakukan dispensing obat lalu 70% puskesmas juga melakukan dispensing obat dan sekitar 80% klinik TNI/Polri juga melakukan dispensing obat. Walau tidak menyebutkan sumber data itu, data tidak bertuan yang lebih mirip sebagai pengakuan itu tetap disebutkan dalam ajakan protes yang beredar di kalangan internal dokter.
Kemudian, lagi-lagi tanpa menyebutkan sumber data yang jelas, bahkan lebih sangat mirip seperti tuduhan sepihak, dalam ajakan protes itu pun disebutkan kembali data berkenaan dengan apoteker di mana dituliskan bahwa apotek sebagian besar apotekernya tidak di tempat dan melakukan penjualan obat daftar G tanpa resep. Lebih provokatif lagi bahkan dituliskan apoteker yang ada di apotek melakukan praktik kedokteran/layaknya dokter yang dibungkus dalam pelayanan farmasi klinik. Di akhir ajakannya dipertanyakan apakah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter dalam praktik perorangan harus dikorbankan oleh regulasi Permenkes tersebut.
Berbeda dengan kalangan dokter, di internal profesi apoteker beredar ajakan memetisi Menteri Kesehatan RI terhadap Permenkes untuk menolak Pasal 10 dan Pasal 15 pada rancangan praktik dokter mandiri. Walau entah nyambung atau tidak, diajakan ini dicantumkan berbagai rujukan hukum sebagai dasar si pengajak untuk memetisi Menteri Kesehatan RI. Dalam penjelasannya yang panjang lebar, si pengajak berpendapat Pasal 10 dapat menghilangkan fungsi apotek.
Setali tiga uang dengan ajakan di kalangan dokter, pengajak di kalangan profesi apoteker pun menuliskan data yang entah berasal dari mana yang menyebutkan “fenomena kasus vaksin palsu yang menyebabkan kematian balita”. Padahal, tidak ada data yang menyebutkan ada kematian balita akibat vaksin palsu. Bahkan, si pengajak melebarkan penjelasannya dengan menulis maraknya masalah pelayanan kesehatan tanpa didukung data yang valid alias OMDO. Walau masih dalam pembahasan, si pengajak sudah menyimpulkan bahwa Pasal 10 dan Pasal 15 dalam rancangan Permenkes itu adalah salah dan yang benar adalah pendapatnya sendiri sehingga layak dan patut membuat Petisi kepada Menteri Kesehatan dengan harapan didukung oleh teman-teman seprofesinya.
Lebih tegas lagi petisi yang dibuat oleh Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia di Provinsi DI Aceh, dalam surat Petisi yang ditandatangani oleh 7 (tujuh) pejabatnya itu disebutkan dengan tegas bahwa draft Permenkes tentang praktik mandiri dokter bertentangan dengan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 108 di mana apoteker adalah satu-satunya profesi di Indonesia yang mempunyai kompetensi dan kewenangan untuk pengelolaan obat. Tanpa menyertakan dasarnya, Pengurus Daerah IAI Aceh juga menulis tugas dokter dan dokter gigi adalah melakukan pemeriksaan pada pasien untuk mendiagnosis penyakit dan memberikan terapi secara tepat dan cepat, tidak berhubungan dengan pengelolaan obat.
Menyadari adanya protes-protesan, tolak-tolakan, dan petisi-petisian itu, kepala biro komunikasi dan pelayanan masyarakat Kemenkes sampai membuat penjelasan terkait protes-protesan, tolak-tolakan, dan petisi-petisian itu. Penjelasan yang diberikan sangat lengkap yang intinya semua masih dalam proses pembahasan yang melibatkan banyak pihak.
Menarik sekali untuk memberikan pendapat di surat ajakan protes-protesan, tolak-tolakan, dan petisi-petisian itu di mana dari 3 (tiga) yang ditampilkan di atas kesemuanya tidak menyertakan sumber data yang diperoleh sehingga sampai berani menuliskan:
- sekitar 80% dokter praktik perorangan melakukan dispensing obat lalu 70% puskesmas juga melakukan dispensing obat dan sekitar 80% klinik TNI/Polri juga melakukan dispensing obat.
- Apotek sebagian besar apotekernya tidak di tempat dan melakukan penjualan obat daftar G tanpa resep.
- Apoteker yang ada di apotek melakukan praktik kedokteran/layaknya dokter yang dibungkus dalam pelayanan farmasi klinik.
- Fenomena kasus vaksin palsu yang menyebabkan kematian balita.
- Maraknya masalah pelayanan kesehatan.
- Tugas dokter dan dokter gigi adalah melakukan pemeriksaan pada pasien untuk mendiagnosis penyakit dan memberikan terapi secara tepat dan cepat, tidak berhubungan dengan pengelolaan obat
Profesi apoteker dan dokter adalah kumpulan orang yang berpendidikan tinggi dan mampu berpikir ilmiah, tetapi rasa korsa yang tinggi menyebabkan akal menjadi tumpul. Ajakan memprotes atau ajakan menandatangani petisi untuk menolak akan lebih mengena bila disertakan dasar hukum yang kuat lewat kajian akademis yang lengkap.
Sebenarnya sebuah produk aturan hukum biarkan saja berproses sampai disahkan menjadi produk hukum yang diundangkan. Nanti apabila produk hukum yang sudah diundangkan itu terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi Hak Azasi Manusia, barulah bisa diajukan uji materiil terhadap suatu undang-undang yang dianggap melanggar ke-2 (dua) hal itu kepada Mahkamah Konstitusi, kemudian lewat proses pengadilan yang fair yang akan menghadirkan saksi ahli dari kedua pihak majelis hakim agung di Mahkamah Konstitusi akan memutuskan benar tidaknya peraturan hukum itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi Hak Azasi Manusia, bukan bertentangan dengan hal-hal yang lain.