Lihat ke Halaman Asli

Putus Cinta dengan Bahasa Indonesia?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Membaca tema yang dibuat yaitu Bahasa Indonesia dan Kita, jujur saja awalnya saya geleng-geleng kepala. Kenapa? Karena seolah-olah ada pemisah, ada jarak antara keduanya. Bahasa Indonesia seolah-olah bukan bahasa ibu kita. Aneh bukan? Padahal kita sehari-hari bertutur dengan bahasa Indonesia, minimal di sekolah, kampus, atau kantor.

Namun lama-lama saya merasa benar juga kalau kita ada jarak dengan bahasa Indonesia. Waktu sekolah saja nilai untuk pelajaran bahasa Indonesia paling banter saya mendapat nilai tujuh kalau ulangan. Bila sudah menyangkut tata bahasa, sudah deh, pusing. Paling menyenangkan bagi saya kalau membahas sastra Indonesia, kalau pas membahas puisi, bisa bebas berteriak-teriak membaca puisi Chairil Anwar, pas membahas drama, bisa berlagak seperti Ken Arok, dan sebagainya. Namun barangkali kita semua menganggap enteng pelajaran bahasa Indonesia karena bahasa tersebut kita gunakan sehari-hari. Enteng karena dalam bertutur kita tidak memikirkan SPOK (Subyek, Predikat, Obyek, Keterangan). Walaupun jujur saja bahasa Indonesia yang kita gunakan juga sudah bercampur dengan bahasa daerah di mana kita tinggal. Kalau dari Sabang sampai Merauke dikumpulkan dengan mudah kita akan mengenali dari mana orang tersebut berasal walaupun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia dalam bercakap-cakap.

Keterpisahan ini sekarang semakin nyata dengan adanya pelajaran bahasa Inggris yang sudah diajarkan sejak kelas satu sekolah dasar, bahkan ada play group yang mengajarkan bahasa Inggris. Hanya karena kita tidak ingin dianggap tidak mengglobal. Sekolah-sekolah RSBI pun bermunculan dengan biaya yang mencekik leher orang tua siswa. Padahal kalau kita ingat Jepang, mereka justru bisa maju tanpa memaksakan siswanya untuk belajar bahasa Inggris. Untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu dari Barat mereka menerjemahkan semua buku tersebut ke dalam bahasa Jepang.

Baiklah, kebijakan sudah dibuat, kita tidak perlu mencari kambing hitam, karena tidak akan meyelesaikan masalah. Dari perasaan keterpisahan tersebut mestinya kita berupaya agar jurang keterpisahan tersebut tidak semakin lebar. Dari sini dituntut kematangan pengajar bidang studi bahasa Indonesia sehingga siswa menjadi tertarik untuk mempelajari dan menggunakannya secara baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan ini juga kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan serta kita semua.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline