Lihat ke Halaman Asli

Jalan Jauh Temen Dikira Jatuh

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi-pagi rumah Pa Bubun mulai riuh suara goreng-menggoreng keripik singkong. Pa Bubun ini adalah mitra dari saya dan kelompok saya dalam menjalankan program KKN di Desa Pulosari, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi. Saya bersama ketujuh teman saya bersepakat membuat keripik singkong coklat untuk membantu perekonomian keluarga Pa Bubun yang sehari-harinya hanya mengandalkan insentif honorer sebagai guru agama di SD setempat.

Pagi itu sedikit cekcok terjadi karena sang manajer produksi, alias tukang atur-atur produksi, lupa membeli coklat sebagai bahan baku utama. Walhasil, keripik singkong tidak dapat langsung dikemas dan disimpan terlebih dahulu di toples. Sang ibu bendahara kelompok, sebut saja Ririn, memutuskan untuk segera membeli bubuk coklat di Pasar agar keripik dapat dikemas. Ririn kemudian mengajak Dita, yang sedang santai untuk menemaninya naik motor ke Pasar Cibadak. “Ayo Dit, anterin ke Pasar Cibadak, beli bubuk coklat dulu biar bisa dipacking keripiknya”. Wah, saya deg-degan juga mendengar si Ririn dan Dita berniat ke Pasar Cibadak. Jaraknya itu lho, 28 kilometer dari rumah Pa Bubun. Dan naik motor pula.

Akhirnya, walaupun masih setengah hati karena masih kedinginan, saya yang menjadi ketua kelompok akhirnya memutuskan agar saya saja yang beli. “Sudah Rin, sini duitnya, biar gw yang beli aja”. Ririn pun mau digantikan, namun dia tetap menyuruh Dita untuk membonceng saya ke Pasar Cibadak. Dengan tergesa-gesa, saya pakai motor skutik dan segera bergegas menuju Pasar Cibadak dan memboncengkan Dita.

Sudah hampir 40 menit dan saya baru berhasil mencapai Jalan Raya Sukabumi, tepatnya di Parungkuda. Jam sudah menunjukkan tengah hari dan cuaca semakin terik. Saya yang berangkat dengan hati gusar pun makin mulai malas untuk menuju Cibadak. Tapi apa daya, demi Pa Bubun dan keripik yang di toples tersebut, saya harus berhasil mendapatkan bubuk coklat itu.

Doengggg!!!” Ternyata tulisan di paragraf sebelumnya itu benar-benar saya pikirkan dalam lamunan. Akibatnya saya hilang kesadaran dan diklakson kencang oleh sebuah trailer yang melintas begitu dekat dengan motor saya dan Dita. Saya terpaksa menepi untuk menghindari trailer tersebut. Saya menghela nafas dan mengucapkan puji syukur karena masih diberikan keselamatan. Saya berhenti sejenak tanpa mematikan mesin motor dan masih tetap duduk di jok.

Tidak sampai 30 detik, saya langsung siap tancap gas. “Dit, kita jalan lagi ya”. Saya pacu skutiknya dengan penuh konsentrasi.Dalam hati saya, “wah enak yah bawa si Dita, mungkin karena biasa bawa motor juga jadi dia tahu cara bonceng yang bener, jadi enteng, ga berat”.

Hampir 15 menit lamanya, saya akhirnya melihat penampakan Pasar Cibadak. Saya pasang sein kanan dan mulai berbelok. Ternyata, dari arah berlawanan, muncul kuda delman yang dengan baik hati memberi saya jalan. Dengan sedikit iseng, saya dekatkan kursi penumpang ke wajah kuda tersebut untuk menjahili Dita. Ternyata Dita tidak bergerak dan dalam hati saya bilang: “Wah hebat banget nih Dita, berani sama kuda, padahal udah nempel banget”.

Saya lalu parkirkan motor di halaman parkir. Dan ketika saya turunkan kaki. Si Dita Hilang. Shock. Terkejut. Saya Diam. Bingung. Semua jadi satu. Tidak panik, tetapi tetap bingung. Pikiran saya mulai tidak karuan. Kemana si Dita? Kemana dia.

Kalau jatuh, kok tidak ada yang teriakin saya di jalan tadi. Saya pun berpikir apa tadi kecelakaan yah? Benar-benar bingung. Pikiran saya langsung ke arah bagaimana saya harus tanggungjawab sama orang tuanya Dita, sama pihak kampus, sama semuanya.. Benar-benar bingung..

Saya kuasai diri dan langsung menghampiri si juru parkir. Pertanyaan pertama saya adalah: “Kang, abdi tadi boncengin temen teu? Awewe?...”. Dia menjawab: “Henteu, nyalira mah si akang”. Saya kepikiranlangsung untuk telpon hp Dita. Taunya, saya tidak bawa hp, karena buru-buru berangkat. Alamakkkk.. Akhirnya saya coba berpikir keras untuk mengingat nomor teman saya di rumah. Padahal sudah ga jaman yah menghapal nomor telepon.

Akhirnya, saya menemukan wartel (sekarang pasti sudah tidak ada). Saya langsung telepon rumah saya dulu, karena itulah nomor yang paling saya ingat. Saya minta carikan buku telepon saya (masih jamannya) untuk cari salah satu nomor teman saya. Akhirnya ketemu dan saya langsung menekan tombolnya. Kemudian diangkatlah teleponnya oleh teman saya sekelompok. Sambil terengah-engah, saya bilang:”Cup, Dita hilang.. ga tau kemana nih, ga ada di boncengan motor.”

Sekelompok terkejut dan tidak tahu gimana. Saya kemudian disuruh untuk menelusuri jalan lagi dari Cibadak ke Parungkuda. Saya putuskan untuk ikut anjuran tersebut. Seperti orang aneh saya jalankan motor pelan-pelan, lihat kanan kiri, lihat apakah ada kerumunan, lihat di selokan, lihat di kolong angkot (padahal yang saya cari ukurannya juga besar), sampai ke Parungkuda. Dan ternyata tidak ada bekasnya. Saya makin parno khawatir dia diculik mahluk halus.

Sudah hampir 2x putar balik Parungkuda-Cibadak, saya putuskan telepon ke teman sekelompk lagi. Jawabannya cukup menenangkan, ternyata Dita juga telepon, sayangnya, Dita juga tidak bawa hp (lengkaplah sudah, dia juga pakai wartel). Akhirnya saya telepon lagi ke nomor teman saya yang lain agar bisa ngobrol sama Dita dengan bantuan dua hape berbeda di rumah pa Bubun. Saya kemudian bilang agar menunggu saya di Parungkuda. Tapi pas saya kesana lagi, ternyata dia sudah naik ojek menuju Cibadak. Haduhhh, jadi kejar-kejaran ekor kepala.

Sampai pada putaran kedua kali, saya lihat dia dengan ojeknya (yang ternyata dia juga muter-muter cari saya).Saya berpapasan tepat di depan rumah makan. Kami pun bertemu kembali: Saya langsung berteriak, “Ditaaaaaaaaaa…..”. Perasaan saya sudah pengen marah poll, tapi pas melihat muka Dita yang kusut, saya langsung minta maaf terlebih dahulu sambil bersyukur bisa ketemu dia lagi..

Setelah ditanya, ternyata Dita ini ketika kita tadi menepi karena diklakson oleh truk, dia berdiri tanpa saya sadari. Ketika berdiri (kakinya cukup panjang, sehingga tidak perlu menyilangkan kaki untuk turun dari motor), ternyata saya langsung tancap gas. Dita bilang bahwa dikiranya saya bercanda dengan meninggalkannya. Tapi ternyata pas dipanggil-panggil, memang saya tidak dengar dan Dita langsung anggap serius. Akhirnya kami ketawa-ketawa dan langsung melanjutkan ke Pasar Cibadak membeli coklat. Dan ketika bertemu dengan si jukir, “Ieu kang, atos ketemu…”

Pengalaman perjalanan ini benar-benar tidak bisa dilupakan. Saya kehilangan teman di suatu tempat yang benar-benar saya tidak paham. Tidak bawa hp dan alat komunikasi lainnya. Wartel memang ternyata benar-benar solusi pada saat itu. Dan saya memetik pelajaran bahwa untuk menunaikan sebuah tugas, kita tidak boleh terpaksa ataupun menggerutu. Lakukan dengan ikhlas. Kalau tidak, pengalaman saya bisa terulang kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Seremmm… :)


Based on true story (nama disamarkan, karena kalau ketahuan, si Dita bisa ngomel lagi ingat kejadian itu.. hehehe)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline