Lihat ke Halaman Asli

Belajar Dipimpin, Bekal Ilmu Menjadi Pemimpin

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan konsep manajemen turut pula berperan serta dalam berkembangnya konsep-konsep kepemimpinan. Kepemimpinan situasional, kepemimpinan pelayanan, merupakan sebagian dari konsep kepemimpinan yang berkembang. Jika menilik lebih rinci, umumnya pembahasan mengenai kepemimpinan lebih sering mengupas mengenai hal-hal dan segala sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Bagaimana bertindak dalam situasi-situasi tertentu, bagaimana kemampuan kontingensi, hingga pengulasan bagaimana mendelegasikan wewenang. Akan tetapi, sangat jarang sekali dapat ditemukan konsep tentang kepengikutan, tentang bagaimana bersikap dalam menjadi seorang bawahan untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh para pemimpin.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, setiap pegawai yang masih memiliki atasan akan mendapatkan penilaian dari atasannya (appraisal). Akan tetapi bagaimana dengan para pemimpin seperti direktur, presiden direktur, atau pucuk pimpinan lainnya, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki rangkap jabatan antara komisaris dan direkturnya. Hal ini masih memberikan indikasi terdapatnya kekuasaan tidak tak terbatas di lingkungan pucuk pimpinan perusahaan.

Kepemimpinan dan kepengikutan sebenarnya adalah suatu konsep yang bersinergi dalam membentuk jaringan vertikal yang strategis. Konsep kepengikutan tidak dapat terjangkau hanya dengan sistem organisasi. Kepengikutan dapat berdiri sendiri dengan visi utama yang lebih jelas, yaitu mendukung keputusan dan perintah yang diambil oleh para pemimpin.

Sebagian besar pemimpin jarang menempatkan dirinya menjadi seorang pengikut, atau menjadi anggota pelaksana perintah. Bahkan stereotype di bangsa ini lebih cenderung menempatkan pengikut kepada posisi yang lemah, tidak aktif, dan cenderung hanya menjadi alat. Budaya ini harus diubah dan di-re-implementasikan dengan cara yang elegan dan lebih manusiawi. Konsep kepengikutan harus ditekankan bahwa pengikut di dalam perusahaan bukanlah orang yang diciptakan dan direkrut untuk melayani pemimpin, melainkan berada di perusahaan karena keahlian, komitmen, dan kapasitas pada fungsi-fungsi spesifik di dalam perusahaan yang tidak dapat dijalankan oleh sembarang individu.

Membangun Kepengikutan Efektif

Kepengikutan efektif menjadi syarat utama dalam membangun organisasi yang kuat sehingga jaringan vertikal akan semakin berkualitas. Kunci pertama dalam membangun keberanian para pengikut untuk menyampaikan apa yang mungkin tidak sejalan dengan visi perusahaan yang dilakukan oleh para pemimpin. Keberanian ini bukan dikonotasikan sebagai aktivitas negatif, melainkan keberanian untuk mempertanyakan suatu wewenang atau memberi tahu pemimpin mengenai kemungkinan adanya ketidaksesuaian visi perusahaan.

Sebuah penelitian yang dilaksanakan oleh Warren Bennis terhadap staf di perusahaan menunjukkan hasil yang perlu menjadi perhatian. Pengamatannya memberi bukti bahwa 7 dari 10 staf tidak akan mengatakan apapun jika pemimpinnya berbuat kesalahan. Mereka khawatir terhadap pemotongan gaji, pengurangan tunjangan, atau mungkin dipecat jika mereka menyatakan sesuatu.

Kunci pertama untuk mengungkit keberanian pengikut ini menjadi tanggung jawab pemimpin untuk menciptakan iklim kondusif di dalam organisasinya. Pemimpin harus mampu menjelaskan peran dan wewenang para pengikut di dalam perusahaan sehingga setiap pengikut mengetahui batasan tanggung jawab dan tugasnya.

Kunci kedua dalam membangun kepemimpinan efektif adalah menciptakan transparansi di dalam organisasi. Transparansi yang dimaksud dalam konsep ini adalah implementasi dari tata kelola organisasi yang baik sehingga budaya keterbukaan menjadi suatu kebutuhan di dalam perusahaan. Setiap keputusan, tugas, dan perintah yang didelegasikan oleh atasan akan selalu dijalankan dan dirasakan oleh para pengikut dengan perasaan positif.

Budaya transparansi ini dapat dibentuk dengan pertemuan rutin maupun aktivitas yang dapat dijalankan secara bersama-sama agar terbangun kepercayaan dan kerjasama diantara anggota organisasi. Transparansi ini juga harus menjangkau beberapa kebijakan-kebijakan penting perusahaan, khususnya meliputi hal-hal administratif, seperti kebijakan remunerasi, absensi, dan lainnya. Hal in akan menjadi titik tumpu yang penting karena dapat menjadi akselerator atau bahkan penghambat kontribusi para pengikut.

Pada akhirnya, jaringan vertikal dalam perusahaan yang dijalin antara pemimpin dan pengikut merupakan suatu faktor penting untuk menjadi strategi bersaing perusahaan. Konsep kepemimpinan harus didampingi dengan konsep kepengikutan agar kedua aspek ini berjalan beriringan dalam perusahaan. Pemimpin menyadari peran dan tanggung jawabnya, serta pengikut menyadari komitmen dan kapasitasnya di dalam perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline