[caption id="attachment_85143" align="aligncenter" width="627" caption="Sandrina Malakiano (Kapanlagi.com)"][/caption] Sandrina Malakiano adalah perempuan pemandu acara (presenter) sohor yang berani banting setir memasuki zona baru demi mempertahankan keutuhan nilai-nilai luhur yang kukuh dipegangnya. Kepiawaiannya sebagai pembawa acara terasa sekali kala menjadi pemandu acara dalam “Momentum & Innovation 1960-2010” yaitu memperingati 50 tahun Profesor Wiratman Wangsadinata berkarir dan berkarya dalam bidang teknik sipil. Acara diselenggarakan di bulan November 2010 di sebuah hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Selatan.
Profesor Wiratman, begitu kolega dan mahasiswa di kampus Ganesha-10 menyapanya dengan akrab, adalah icon Indonesia untuk berbagai bangunan baik berupa gedung pencakar langit, jembatan, simpang-susun, terowongan, bandara maupun pelabuhan laut. Gedung pencakar langit pertama di Indonesia yaitu Wisma Nusantara adalah karya monumental dari sudut pandang bangunan pencakar langit yang kuat terhadap gempa bumi. Strategi dan kiat yang digunakan telah menjadi acuan bahkan standar dalam pembangunan pencakar langit bukan hanya di tanah air melainkan juga di Jepang. Wisma Nusantara adalah “kelinci percobaan” Jepang untuk membangun gedung tinggi kuat melawan gempa. Wiratman muda adalah salah satu tokoh kunci dalam pembangunannya. Mahakarya lain adalah pembangunan simpang susun (fly-over) Jalan Casablanca dengan Jalan Sudirman, Jakarta. Pembangunan simpang susun ini menggunakan teknik hasil inovasi Prof Wiratman yang memungkinkan pembangunan dilaksanakan tanpa menutup arus lalu lintas yang super padat di jalan Sudirman. Impian terbesar yang ingin dijadikan kenyataan oleh Prof Wiratman adalah pembangunan Jembatan (gantung atau cable stayed bridge) Selat Sunda (JSS). Rentetan mahakarya ini yang menjadi pemicu munculnya sebutan-sebutan seperti Wiratman Ahli Beton, Wiratman Ahli Gempa, Wiratman Ahli Jembatan.
Bincang-bincang (talk-show) tentang JSS ini adalah salah satu acara dari rangkaian Momentum & Innovation 1960-2010 Prof Wiratman. Sandrina tentu musti bekerja keras memahami seluk beluk JSS agar sukses memandu acara. Penampilan fisik yang ramah dan sumringah hanya sebagian saja dari persayaratan sebagai pemandu acara. Namun ini baru memenuhi syarat perlu. Satu syarat penting lainnya yaitu syarat cukup tak mudah dipenuhi tanpa memahami dengan sekasama tema diskusi, pendalaman akan sosok Prof Wiratman sebagai tokoh sentral dan tidak kalah pentingnya adalah mengenali tiga insan yang diundang untuk meramaikan perbincangan. Ketiga yang terpilih adalah Bapak Frans S. Sunito, Direktur Utama Jasa Marga yang mantan mahasiswa Prof Wiratman, Prof Herlin yang Ketua Prodi Teknik Sipil ITB dan mantan asisten kuliah dan laboratirum Prof Wiratman dan Kusmayanto Kadiman yang berstatus penulis tamu di Kompasiana (NB.Jaka Sembung nih)
Menghangatkan Diskusi Dengan Peran Antagonis
[caption id="attachment_85309" align="alignleft" width="329" caption="Foto diunduh dari situs Pustaka, Kementerian Pekerjaan Umum RI"]
[/caption]
Acara bincang-bincang ini adalah kelanjutan dari stadium generale yang diberikan langsung oleh Prof Wiratman. Sebuah kuliah umum yang mempesona seluruh pengunjung aula utama hotel bintang lima tersebut. Jika saya berada di posisi Sandrina tentu hal ini menakutkan karena bisa-bisa acara yang dipandunya menjadi sebuah anti-klimaks. Disinilah Sandrina menunjukkan kelasnya. Dia buka acara dengan menggunakan sebuah pemecah kebekuan (ice breaker) dengan mengatakan – Saya ini sesungguhnya adalah mantan mahasiswa Prof Wiratman. Kalimat singkat ini tepat sasaran dan memukau seluruh peserta dan mengundang rasa enasaran, termasuk Prof Wiratman yang bereaksi dengan mengubah gaya duduknya sambil tak lepas tangan kirinya memegang tangan kana istri tercinta yang duduk persis disebelah Prof Wiratman, seolah berupaya menarik kalimat berikut yang menjadi penjelasan tentang status kemahasiswaan Sandrina itu. Sandrina pandai menangkap peluang emas ini dan merespon hasrat peserta dengan menambahkan – Saya dahulu kuliah dan lulus di prodi Teknik Sipil dan sempat membaca buku dan tulisan-tulisan lain dari Prof Wiratman.
Kekaguman peserta berubah menjadi tepuk tangan riuh. Ternyata “tiket” yang dibeli peserta untuk hadir diacara ini akan balik modal bahkan untung dengan pemilihan sosok pemandu acara yang pas. Pak Frans dan Prof Herlin bercerita dengan penuh semangat tentang kehebatan dan sepak terjang Prof Wiratman dan ditambahkan oleh mereka bahwa pembangunan JSS itu wajib hukumnya dari kacamata unjuk piawai teknik sipil dan solusi transportasi Sumatera-Jawa pp. Kehebatan dan sepak terjang yang diceritakan ini tentu bukan barang baru bagi para peserta yang hadir karena semua sudah kenal sosok Prof Wiratman dan karya-karyanya. Suasana bincang-bincang terasa formal dan mendingin walau sesekali ada gurau yang dilontar Pak Frans untuk melawan kebekuan.
Sekali lagi Sandrina menunjukkan kebolehannya sebagai pemandu acara. Dalam memberi kesempatan saya baku bicara, Sandrina dengan gaya diktator tapi disampaikan dengan senyum yang elegan mengatakan – Mari kita kuak JSS dari sudut pandang lain. Bagaimana dengan Nusantara yang dikenal sebagai Negara Kepulauan? Tengok juga dari perspektif konsep dan strategi transportasi multi-moda. Ini bak api disemprot bensin. Sebuah ajakan mengambil lakon antagonis.
Peserta kemudian kami undang untuk bersilancar dalam sumbu waktu. Mengajak mengingat bagaimana seorang Perdana Menteri Indonesia di akhir ‘50an berjuang habis-habisan di PBB dan melakukan pendekatan keberbagai Negara sampai akhirnya berhasil memperoleh pengakuan dunia bahwa Indonesia itu adalah Negara Kepulauan. Kemudian pernyataan ini kita lestarikan sebagai Deklarasi Djuanda. Jika JSS sukses dibangun dan diikuti dengan JKJ, JKS, JSK, plus berderet jembatan menghubungkan Kepri, Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT sampai ke Papua maka masih sahihkah definisi Negara kepulauan?
Sukses pembangunan JSS akan meciptakan kondisi dimana semua jalan darat di Sumatera dan Jawa akan bermuara ke JSS. Ini dilakukan agar JSS ramai lalu-lintasnya sehingga JSS yang semula tidak layak menjadi ekonomis. Tentu sukses JSS akan diikuti oleh jembatan ultra panjang lainnya. Sebuah risiko baru akan muncul yaitu transportasi nasional yang konsepnya adalah multi moda (yaitu seimbang antara moda udara, laut, sungai dan darat) dikebiri menjadi moda tunggal yaitu jalan untuk kereta-api dan mobil. Kedua pandangan antagonis ini sukses membuka pemikiran para peserta dan tentunya menghangatkan suasana. Walhasil, acara yang dipandu Sandrina sukses dan tidak terjerembab menjadi sebuah anti-klimaks.
Acara kemudian disudahi dengan tampilnya Prof Wiratman berduet dengan Sandrina melantunkan lagu jadul yang kerap dinyanyikan oleh Prof Wiratman dalam acara-acara silaturahmi warga Teknik Sipil ITB. Lagunya berjudul Edelweiss .. Bloom and grow forever, Bless my homeland forever –
Cantik sekali !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H