Lihat ke Halaman Asli

Kadiman Kusmayanto

TERVERIFIKASI

World Class University - Bak Menggapai Fatamorgana

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menjadi Perguruan Tinggi Kelas Dunia (PT-KD atau World Class Univeristy WCU) adalah cita bahkan tidak jarang dijadikan visi dari setiap perguruan tinggi bukan hanya di tanah air namun juga menjadi incaran seluruh perguruan tinggi se-dunia. Status paling bergengsi Kelas Dunia ini dijadikan pembakar semangat bagi tampuk pimpinan, senat akademik, dewan penyantun atau majelis wali amanah (board of trustee), pengajar (dosen), peneliti, pustakawan/i, teknisi, laboran, tenaga pendukung administrasi, mahasiswa/i sampai pada alumni dan pemangku kepentingan (stake-holders). Setiap kegiatan dan kinerja yang berkontribusi signifikan pada pencapaian prestise ini akan menjadi perhatian dan akan mendapat dukungan maksimal. Peraihan citra kelas dunia ini lebih mudah untuk dibicarakan dan digelorakan sebagai pembakar semangat ketimbang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Selain kompetisi yang sangat ketat, juga banyak faktor yang berpotensi menjadi penghalang. Ukuran sebagai PT-KD juga tidak mudah dibuat generik, baku dan terukur. Upaya yang dilakukan lebih sering berakhir dengan debat kusir. Ada yang mempertanyakan apakah perguruan tingginya sebagai lembaga yang menjadi patokan, citra rektor atau presiden yang maha penting, karya-karya civitas academica yang dijadikan ukuran dan penentu, kiprah alumni dalam tatanan pemerintah, industri dan masyarakatkah yang diutamakan, menjadi buah bibir dan idola anak muda dan orang tua yang didahulukan atau frekuensi tampil di media yang menjadi tolok ukur? Perburuan status PT-KD ini bahkan telah pula ditengok sebagai lahan bisnis menggiurkan bagi beberapa institusi khususnya dalam bidang survei dan pemeringkat berwadah lembaga swadaya masyarakat (non-government organization, NGO) dalam dan luar negeri. Kiriman surat kesediaan ikut berlomba, pengisian formulir dan visitasi dari LSM pemeringkat sangat dinantikan, dielu-elukan dan mendapat layanan prima. Fenomena ini bagaikan legenda kedatangan Ratu Adil. Berhasil masuk ke anak-tangga teratas serta merta disambut pesta dalam kampus yang lengkap dengan umbul-umbul warna-warni dan poster berukuran raksasa. Sebaliknya, kala kegagalan yang dihadapi maka pasti akan diikuti dengan pernyataan bela-diri sampai pada ulasan mempertanyakan keabsahan sistem pemeringkat yang diterapkan. Tidak jarang sederet kambing hitam dibariskan sebagai benteng pertahanan. Isu PT-KD sempat menjadi kontroversi. Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan University of Tokyo (UoT) yang de facto WCU karena jejak rekam dan prestasinya sebagai model rujukan dalam membangun perguruan tinggi sempat menampik untuk ikut dalam kompetisi peraihan PT-KD. Penolakan ini semata-mata dilakukan untuk menghindarkan dampak negatif bukan hanya pada kedua perguruan tinggi kondang tersebut juga pada perguruan-perguruan tinggi lain dan pada masyarakat luas. Nyaris semua jika tidak seluruhnya, perguruan-perguruan tinggi ternama di tanah air ikut dalam perlombaan ini. Berbagai komponen kampus dikerahkan dan dukungan alumni serta pemangku kepentingan digalang. Perguruan-perguran tinggi yang sedang tumbuh mencari jatidiri juga getol ikut pula bertanding dengan cara-cara yang cerdik dan cerdas. Peraihan cita luhur itu digapai melalui satu atau dua program studi unggulan, melalui tokoh yang berpotensi muncul keatas permukaan sampai pada pemilihan sub-bidang yang unik yang jika diikutkan dalam perlombaan akan memiliki peluang besar untuk menapak sampai ke anak tangga tertinggi. Sebagai contoh, Universitas Gajah Mada (UGM) memilih program studi Sastra Jawa sebagai lokomotif menuju PT-KD. Universitas Pajajaran (UNPAD) mengekor dengan menetapkan program studi Sastra Sunda sebagai ujung tombaknya. Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) melalui Politkenik-nya membangun sebuah tim khusus untuk menekuni dan mengikuti kompetisi robot. Universitas Komputer (Unikom, Bandung) membuntuti jejak sukses Politeknik/ITS dan berhasil meraih Piala Emas dalam Kompetisi Robot Dunia. Universitas Syiahkuala, NAD sedang giat menjadikan tsunami Aceh-Nias 2004 sebagai atraktor. Kreativitas dan inovasi dijadikan kata kunci dalam keberhasilan memenangkan pertandingan. Tidak segan mereka untuk menerapkan kiat pamungkas Niteni, Niroake dan Nambahake yang diajarkan Ki Hajar Dewantara dan RM Kartono. Seni Rupa dan Astronomi : Dua Wahana ITB Menuju Pentas Dunia Intitut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia. Dua kata yang melekat pada ITB yaitu institut dan teknologi telah menjadi pilihan sejak pendirian perguruan tinggi ini pada tanggal 2 Maret 1959 oleh seorang alumninya yang berani, tegas dan sukses serta menjadi Presiden RI yang pertama dan paling kondang di tanah air dan manca-negara, Ir Soekarno. Pada awalnya, dua kata inilah yang menjadi amunisi utama yang membawa ITB tumbuh berkembang. Pertumbuhan bidang-bidang ilmu, rekayasa dan humaniroa, kemajuan zaman sampai pada desakan para pemangku kepentingan sempat membuat ITB goyang akan keteguhannya pada kata teknologi dan institut. Sempat bergulir wacana untuk mengubah nama misalnya menjadi Universitas ITB dimana kata ITB diusulkan bukan lagi berupa singkatan melainkan dijadikan sebuah nama. Ide ini serupa dengan University of Manchester, Institute of Science and Technology (UMIST) di Inggris atau University RMIT di Australia dimana RMIT semula adalah akronim dari Royal Melbourne Institute of Technology. Keteguhan menggunakan nama ITB ini juga menjadi ciri MIT yang sejak pendiriannya tidak pernah mengubah namanya. Seolah merealisasikan ungkapan terkenal dari pujangga besar Shakespeare “Apalah arti sebuah nama”. Jika kita simak pertumbuhan dan perkembangannya, kita temukan bahwa MIT kini tidak hanya mengembangkan dan mengajarkan ilmu dan rekayasa yang sarat makna teknologi. Program studi dan riset bidang linguistik, tusuk jarum (accupuncutre) dan sosiolingkungan adalah tiga contoh dimana MIT sudah tidak lagi terperangkap dalam pengertian teknologi yang sempit seperti teknologi yang dikenal berjaya pada saat revolusi industri. Kala itu teknologi senantiasa berkonotasi -- kekar, kaku, besar, masal, bising, kotor, angkuh (egocentric). Tudingan tidak ramah lingkungan dan tidak punya hati sering sekali dilontarkan pada karya-karya teknologi. Bahkan teknolog sering disindir bahkan dikecam sebagai gugup sosial (gupsos). Dari satu sudut pandang, tembakan gupsos ini dianggap sebagai pembalasan atas ulah teknolog yang selain mencipta teknologi juga membuat diskriminasi gagap teknologi (gaptek). Seperti halnya MIT, ITB melakukan perluasan makna teknologi. Kini teknologi telah didefinisikan sebagai paduan serasi dari seni, ilmu, rekayasa dan ekonomi (khususnya manajemen). Senirupa, matematika dan berbagai cabang ilmu alam dan hayati seperti fisika, kimia, biologi, farmasi dan kebumian serta antariksa menjadi bagian tak terpisahkan dari ITB. Dalam semua cabang ilmu dan rekayasa yang digeluti warga ITB senantiasa ada tiga misi yang diemban sebagai amanah: 1. Peningkatan pemahaman dan pengembangan ilmu (state of the art),  2. Upaya komersialisasi, dan 3. Manfaat bagi masyarakat. Mustahil jika ITB mampu dalam kurun waktu singkat menjadikan semua bidang teknologi yang dipayunginya manggung di pentas dunia. Senirupa dan Astronomi adalah dua bidang ilmu yang memliki potensi terbesar menjadi kereta penghela ITB menuju PT-KD. Pasar Seni ITB yang digelar berkala tak pernah luput dari perhatian bukan hanya oleh warga Bandung dan sekitarnya, juga nasional, regional bahkan dunia. Pasar Seni tahun ini yang tepat pada tanggal 10-10-’10 begitu dinantikan dan ramai dikunjungi khalayak. Pasar Seni ini bukan sekedar gelar pasar dimana pengunjung akan dapat menikmati cipta, karya dan kriya yang artistik, unik dan menghibur serta memborong produk seni melainkan juga ajang dimana para seniman menceritakan kreativitasnya pada publik yang sekaligus juga dipertanggungjawabkan sebagai karya akademis. Kritik dan debat seni menjadi bagian dari Pasar Seni ITB yang dinikmati publik. Sedagkan Astronomi ITB yang bermodal dosen, peneliti dan kemitraan serta Observatorium Boscha (OB) itu punya keistimewaan unik khususnya lokasi astronomis di Lembang yang menjadikan mereka atraktif bagi astronom mancanegara. Walhasil banyak karya ilmiah berkelas dunia dihasilkan dari riset di OB-Lembang. Notabene:

  1. Pasar Seni ITB memiliki satu dampak negatif yaitu menjadikan kota Bandung macet total seolah tak mau kalah oleh Ibukota Jakarta dalam ukuran kemacetan lalu-laintas. Fenomena cetal (macet total) ini hanya bisa ditandingi jika ITB, Unpad, Unpar dan Unpas kompak melakukan acara wisuda pada jam dan hari yang sama. Atau jika Bandung di-“serahkan pada ahlinya” seperti janji kampanye Fauzi “Foke” Bowo.
  2. Banyak kritik keras dan sinis dilontarkan pada alokasi kegiatan dan dana untuk riset Astrnomi karena dipandang tidak dapat memberi manfaat pada  masyarakat. Lupa bahwa riset termasuk perhitungan jitu astronom OB-Lembang yang mengurangi gesekan dan meredakan perikaian kubu-kubu dalam Islam khususnya yang dipimpin Muhamadiah dan Nahdhatul Ulama (NU) akibat perbedaan penentuan awal dan akhir puasa Ramadhan. Plus banyak manfaat lain seperti dalam sektor klimatologi dan telekomunikasi.
  3. Foto pelengkap tulisan ini menggambarkan batik yang motifnya terinspirasi dari gugus bintang Crab dan Antares Nebula. Batik ini merupakan kolaborasi matematikawan, rekayasa piranti lunak dan seni tradisional yang dikenalkan saat Observatorium Boscha menggelar acara astronomi untuk publik dan menghadirkan kosmonot asal Negeri jiran, Dr Sheikh Muszaphar Shukor (SMS). Teknik membatik hasil kolaborasi ini kemudian dipopulerkan sebagai the computational fractal batik.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline