Lihat ke Halaman Asli

Kadiman Kusmayanto

TERVERIFIKASI

Pembiaran: Biang Keladi Dekadensi

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Dekadensi” Kla Project Kuletakkan sejenak beban memberat Duduk diam pikiran mengawang Ternyata langit tak sebiru dulu Kita alpa terabaikan selalu Dengan Swara jiwaku Bermimpi sebuah dunia yang baru Dekadensi yang dalam KBBI didefinisikan sebagai kemerosotan (akhlak) atau kemunduran (seni) itu berasal dari decadentia atau decadere (Bahasa Latin) atau décadence (Bahasa Perancis). Kata ini semakin sering kita temukan dalam media cetak dan kita dengar dalam percakapan maupun media audio serta media audiovisual. Ini adalah wujud keprihatian akan meluruhnya kualitas, khususnya moral individu, kelompok, organisasi sampai institusi tertinggi RI seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan dekandensi moral juga juga banyak diberitakan terjadi di institusi pendidikan. Tengok misalnya pemberitaan seputar pencurian hak atas kekayaan intelektual seperti plagiat karya akademik. Mengapa dekadensi ini semakin merasuk dalam kehidupan kita baik dalam keseharian maupun dalam kehidupan berbangsa? Salah satu biang-keladi adalah penyakit akut kita yang senantiasa permisif alias membiarkan hal-hal kecil yang buruk dan berpotensi membesar dan menggurita menjadi faktor terciptanya dekandensi. Pembiaran Dalam Rumah Tangga Banyak hal-hal kecil yang kita sadar betul bahwa itu salah namun kita biarkan. Kalimat yang sering kita dengar atau lontarkan misalnya “Itu ‘kan masalah kecil mengapa musti dijadikan persoalan”, “Banyak urusan yang lebih besar, biarkan sajalah” sampai yang lebih permisif “Untung hanya itu yang dia lakukan, bagaimana jika hal yang lebih buruk. Kita doakan saja agar tidak menjadi lebih parah”. Apa saja hal kecil tersebut? Mari ambil contoh pelanggaran aturan lalu lintas, pemalsuan umur dalam kartu tanda penduduk (KTP) agar bisa masuk sekolah, mendapatkan secara tak legal alias membeli surat izin mengemudi (SIM), membuatkan surat palsu dari dokter agar anak bisa legal membolos dari sekolah dan menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi seperti pakai mobil dinas ke pasar, membuat fotokopi KTP, SIM, KK (kartu keluarga), menyogok pejabat untuk dapat kemudahan dll. Daftar contoh itu akan mudah kita perpanjang jika kita mau sedikit mengingat dan merenungkan sambil introspeksi. Pasti lebih banyak pembiaran kita lakukan ketimbang mulai mencegah dan memperbaiki hal-hal kecil ini sebelum perilaku itu mengkristal menjadi kebiasaan buruk yang merugikan. Pembiaran Dalam Dunia Pendidikan Tak banyak guru atau dosen yang rajin memerikasa daftar hadir siswa atau mahasiswa dan membandingkannya dengan jumlah yang hadir di kelas. Pembiaran adalah sepertinya hal yang lumarah. Titip absen adalah istilah populer khurusnya di kampus. Kebiasaan mengumumkan urutan prestasi (ranking) atau indeks prestasi kumpulatif (IPK) punya tujuan mulia namun berpotensi menciptakan efek negatif. Orang tua sering merasa malu jika putra/i tidak masuk ranking atas. Begitu pula mahasiswa/i hilang percaya diri jika tidak sukses mendapatkan IPK tinggi. Begitu pula perburuan liar akan gelar akademik. Akibatnya banyak kecurangan mulai dari yang kecil sampai besar dilakukan. Tak jarang jalan pintas diambil. Jika kursus intensif yang diambil agar siswa/i dan mashasiswa/i bisa berprestasi maka itu masuk kategori terpuji. Namun tak jarang kita tengok marak tumbuh langkah kebiasaan menyalin hasil kerja orang lain yang populer dengan istilah nyontek. Walau disadari itu salah namun kegiatan nyontek pekerjaan rumah, ujian sampai pembuatan skripsi atau disertasi sering mengalami pembiaran. Tidak pernah dihujat bahwa itu adalah tindakan kriminal yang ujungnya nanti adalah pembodohan dan tentunya dekadensi akhlak sekaligus meluruhkan kemampuan berprestasi riil. Pembiaran Dalam Keseharian Antri menjadi momok bagi kita apalagi jika dalam kondisi ketergesaan. Perilaku pembiaran menjadikan kebiasaan antri semangkin menjauh dari kita. Bukan saja mendiamkan jika melihat seseorang memotong atau tidak mau antri bahkan tak jarang kitapun ikut terperangkap dalam kebiasaan buruk tidak mau antri. Ini semakin terasa di kota-kota besar bukan hanya di bank, kantor pos, rumah sakit, terminal bus, kereta api, pelabuhan dan bandara juga dalam lalu-lintas. Semua menjadi garang karena ingin berada didepan tanpa mempedulikan orang lain bahkan keamanan dan keselamatan lalu-lintas. Membangun budaya disiplin antri ini bagaikan sirkuit kemelut atau telur versus ayam. Sistem yang terlebih dahulu diperbaiki atau sinten-nya (orang dalam Bahasa Jawa) yang dilatih agar santun dan patuh? Berbagai simbol dan peringatan telah dibuat di tempat-tempat umum misalnya simbol larangan merokok, simbol lalu-lintas, tidak boleh menghidupkan perangkat komunikasi dalam pesawat terbang dll namun simbol dan peringatan itu diperlakukan bak ornamen dan bukan untuk dipatuhi. Sekali lagi, pembiaran lebih sering kita lakukan ketimbang berkontribusi positif membangun budaya disiplin. Pembiaran Dalam Institusi Daftar Hadir yang sering salah kaprah disebut sebagai Absensi pasti dibuat namun semakin bagus sistem dibangun semakin cerdik orang mengakalinya. Foto kosong melompong ruang sidang DPR/D sering ditayangkan. Namun jika kita cermat mendengarkan laporan Ketua Sidang maka kita akan dengar bahwa peserta yang hadir telah memenuhi kuorom atau daftar minimal kehadiran yang dipersyaratakan untuk memulai sidang. Citra ini diperburuk saat kita melihat bahwa yang hadir lebih memilih sibuk sendiri bagai anak autis bermain dengan mainannya atau ngantuk dan tertidur. Begitu juga sidak oleh Kementerian Penertipan Aparatur Negara sesaat sesudah hari libur bersama masih saja menampilkan kejomplangan antara daftar hadir terhadap pegawai yang nyata hadir. Tak jarang kita mendengar istilah sinis 850 yang menggambarkan bahwa karyawan datang jam 8, pulang jam 5 namun prestasi kerja nihil. Sistem prestasi berbasis kinerja yang digaungkan masih seperti pungguk merindukan rembulan. Ulasan ringkas ini baru mengupas hal-hal yang kasat mata dan ada disekitar kita. Pembiaran ini menjadikan kegiatan-kegiatan curang itu merasuk bahkan sampai ke alam bawah sadar. Tentu upaya perbaikan terus dilakukan. Hanya akan efektif jika kebiasaan pembiaran walau dengan lambat namun wajib dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Mari sama-sama kita lakukan perbaikan dan perjuangkan. Himbauan arif yang klasik mari kita pegang sebagai pembakar semangat, yaitu: Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kalau bukan aku, siapa lagi? *) gambar diambil dari salah satu situs berita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline