Lihat ke Halaman Asli

Kadiman Kusmayanto

TERVERIFIKASI

Masyarakat Ekonomi ASEAN : Sedikit-sedikit Disulitin

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Asean | Kompasiana (Kompas.com, Shutterstock)"][/caption] Globalisasi bukan sekedar konsep diatas kertas. Kini de facto telah menjadi kesepakatan umum. Bumi seolah terbagi dua, kita dihadapkan pada dilemma antara harapan dan ancaman. Secara optimis Carlos Santana, sang gitaris kondang menggambarkan globalisasi sebagai alam tanpa batas -- “One day there will be no borders, no boundaries, no flags and no countries and the only passport will be the heart”.Dengan politik bebas aktif diperkuat oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, Indonesia tegas dan pasti memilih menjadi pemain aktif dalam globalisasi. Heboh Capres yang kini sedang membara tidak lepas dari isu dan tantangan politik internasional khususnya dalam menyikapi globalisasi. Walau dalam skala yang lebih kecil yaitu ASEAN, debat Capres mengupasnya. Sub-judul artikel “Sedikit-sedikit Disulitin” ini adalah penggalan dari debat yang diselenggarakan tanggal 15 Juni 2014. Kala Capres No.1 bertanya pada lawan debatnya tentang sikap apa yang akan diambilnya menghadapi realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA, ASEAN Economic Community). Kita tahu bahwa Piagam ASEAN yang dicetuskan dalam Bali Concord II mengamanatkan agar ASEAN sudah harus mulai menerapkan MEA pada tahun 2015 yang notabene tinggal 1 semester lagi. Piagam ASEAN menyebutkan bahwa MEA menjamin bebasnya aliran masuk dan keluar komoditas ekonomi dan kapital diantara semua negara anggota ASEAN. Sang Capres No.1 seolah membangunkan kita dari keterlenaan dan sekaligus bertanya -- Siapkah kita menjadi pemain utama dalam MEA atau lagi-lagi terjerembab sebagai pelengkap penderita? Walau jawaban sang lawan debat itu terkesan lucu dan tidak mengindahkan kaidah tata bahasa Indonesia tapi menggelitik dan menantang untuk diulas. Dalam menghadapi dilema globalisasi memang ada dua pilihan ekstrim yaitu bersembunyi dan masuk dalam kubah tempurung atau membiarkan hanyut terbawa arus. Membiarkan diri hanyut terbawa arus jelas bukan opsi untuk dipilih. Tentu ada jalan tengah yaitu mengasah kemampuan agar mampu berselancar memanfaatkan energi tsunami globalisasi. Menggunakan jurus disulit-sulitin dikit atau jurus fortifikasi kata kaum akademis. Masuk Dalam Tempurung Melakukan isolasi dari dunia luar dan menanggung risiko terkucilkan adalah sebuah pilihan besar. Jika kita memiliki kemampuan untuk swasembada pangan, papan dan energi ditambah dengan kepemimpinan kuat maka membangun benteng lokalisasi dan menghapuskan kebijakan politik bebas aktif adalah pilihan yang barangkali tergolong gagah berani. Kepemimpinan Fidel Castro di Kuba bisa menjadi sebuah referensi. Demi kemaslahatan bangsa dan negara, RI punya contoh keberhasilan dalam membentengi diri dari tsunami globalisasi. Tsunami seks bebas notabene lebih banyak dampak keburukannya ketimbang manfaatnya. Dengan berpayung pada UU no.44 tahun 2008 tentang pornografi, Kementerian Komunikasi dan Informasi telah memasang tembok penghalang (firewall) yang menutup semua aliran masuk dan keluar data dan informasi termasuk gambar diam dan bergerak yang terkait erat dengan pornografi. Indonesia telah memilih masuk dalam tempurung. Sebuah keputusan besar yang mendapat dukungan kuat dari rakyat. Selain seks bebas, Pasal 303 KUHP telah dijadikan benteng kokoh dari perjudian, narkoba, minuman keras dll. Sedikit-sedikit Disulitin ala Negara Digdaya Bahkan negara-negara maju telah melakukan penerapan kiat cerdik dalam manifesto globalisasi. Salah satu kiat yang diterapkan tersebut berdampak negatif pada neraca ekspor-impor RI. Uni Eropa dan juga Amerika Serikat tidak pernah berhenti menutup keran impor mereka terhadap komoditas ekspor andalan RI yaitu minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO). Jurus membanting harga tidak mempan membendung aliran impor CPO dari negara-negara penghasil khususnya Indonesia. Kegagalan juga dialami saat penerapan subsidi terselubung terhadap hasil panen domestik mereka. Bersama CPO, ikut juga menyerbu kayu gelondongan dan rotan asalan yang khas tropis. Setelah jurus banting harga dan subsidi terselubung gagal, dicari cara cerdik lain. Melalui upaya panjang dihasilkanlah konsep brilian dan fundamental yaitu ancaman pemanasan global dan perubahan cuaca. Dalam satu tahap pemanasan global dan perubahaan cuaca ini pamungkas. Konsep pelestarian lingkungan digalang-galang, dipromosikan serta diiming-imingi insentif menarik. Semuanya dibungkus apik dalam bingkisan pengurangan emisi gas buang melalui penghutanan kembali dan penggundulan hutan (Reducing emissions from deforestation and forest degradation, REDD). Negara-negara terbelakang dan berkembang terkesima dan tergiur oleh konsep REDD ini. Terlena dan lupa akan potensi sumber daya hayati yang dimilikinya. Walhasil CPO, kayu gelondongan dan rotan asalan menjadi barang haram dan terancam dicoret dari komoditas ekspor-impor. Negara digdaya ekonomi berhasil membutakan mata dari fakta bahwa negara-negara adidaya ekonomi itu melakukan konversi hutan secara masif menjadi lahan multikultur rapeseed, kedelai, tebu dan bunga matahari (sunflower) yang jika ditilik dari ukuran luas lahannya dan sifatnya dalam efek emisi gas rumah kaca setali tiga uang dengan kebun sawit dan hutan tanaman industri. Saking hebatnya gerakan REDD ini banyak negara terbelakang dan berkembang yang secara sukarela bahkan seolah membuat kebijakan yang hantam kromo melakukan larangan ekspor atas kekayaan sumber daya hayati andalannya. Kilau Zamrud Khatulistiwa telah tertutup tabir REDD. Langkah-langkah yang dilakukan oleh bangsa-bangsa digdaya ekonomi diatas itu dapat dipandang sebagai manifesto dari ungkapan lugu dan lucu “Disulit-sulitin dikit”. Fortifikasi alias Disulit-sulitin Dikit Terkait rekomendasi atas keputusan RI dalam menyikapi globalisasi telah banyak kajian teknoekonomi dan sosiopolitik dilakukan dan dipublikasikan. Pada awal tahun 2009, opini Kompas menampilkan hampir berurutan tiga tulisan yaitu : Ninok Leksono “Iptek, Politik dan Politikus” tanggal 25 Februari, Ary Mochtar Pedju “Revolusi Pengetahuan, Politik dan Kemiskinan” tanggal 27 Februari dan Kusmayanto Kadiman “Fortifikasi Dalam Globalisasi” tanggal 4 Maret. Ketiga tulisan itu memiliki ruh yang sama yaitu menerima globalisasi dengan cerdik yaitu membangun dan mengasah kemampuan berselancar dalam arus globalisasi. Pasar domestik tidak akan dibuka begitu saja untuk dibanjiri produk impor. Disisi lain, produk dalam negeri dijungkit agar punya daya penetrasi dan kompetitif dalam MEA dan pasar global. Konsep disulit-sulitin dikit itu pasti akan berada didaerah abu-abu. Salah-salah dalam strategi dan penerapannya maka RI akan terancam diajukan ke pengadilan tata niaga internasional. Tersedia banyak pilihan untuk bermain cantik. Senjata pamungkas label halal telah dimanfaatkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Kini LPPOM hampir setara dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan dalam ukuran memiliki manusia kompeten, instrumentasi laboratorium dan jejaring Nusantara untuk mendukung realisasi label halal. Label halal ini merupakan fortifikasi yang bukan hanya menyikapi banjir produk impor namun juga dari pabrikan domestik. Bukankah ini salah satu penampakan dari pendekatan disulit-sulitin dikit? Pemerintah sudah juga jauh-jauh hari melakukan fortifikasi. Visa masuk RI baik sebagai turis apalagi izin sebagai tenaga kerja adalah wujud fortifikasi yang primitif dan sudah menjadi rahasia umum. Badan Standarisasi Nasional berjuang tanpa henti menggunakan tameng label Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam upaya fortifikasi terhadap pasar domestik. SNI kini senantiasa bertengger bersama merek dari produk yang beredar dan menjadi penentu. Begitu pula Kementerian Perindustrian yang dalam merealisasikan Peraturan Presiden no. 45 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa telah menerbitkan instrumen Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). TKDN ini memiliki efek ganda. Disatu sisi menerapkan pendekatan disulit-sulitin dikit bagi gempuran produk impor dan disisi lain menjadi penjungkit penetrasi dan kemampuan kompetisi bagi produk dan jasa anak negeri. Singkat cerita, kiat disulit-sulitin dikit itu bukan barang baru. Sudah menjadi keseharian bahkan sudah menjadi kiat sukses untuk berusaha di Indonesia. Senjata pamungkas Know-How saja sering tak berdaya jika tidak diiringi dengan amunisi Know-Who. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Know-Who ini yang sering dijadikan penawar bagi penyakit disulit-sulitin dikit. Jurus fortifikasi yang telah diterapkan memang sudah memberi manfaat namun menurut statistik, efeknya masih tidak signifikan jika diukur terhadap pertumbuhan dan pembangunan Indonesia. Kita butuh konsep, keberpihakan politik,  peraturan dan perundangan yang solid tentang fortifikasi serta konsistensi dalam realisasi dan pemberian insentifnya. Wajib secara simultan melakukan perlindungan pada pasar domestik dan melakukan penjungkitan pada jasa dan produk anak negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline