Hari ini seperti hari yg biasa, terjebak macet sudah menjadi makanan sehari-hari. Ada yang sabar mengikuri jalur yang benar, ada yang tidak sabar memacu kendaraannya di bahu jalan.
Langit pagi yang seharusnya biru jernih, pagi ini mulai tertutup polusi. Matahari mulai terik walaupun waktu masih menunjukkan pukul 9.
Untung hari ini tidak ada meeting, sehingga aku bisa santai menikmati kemacetan di depanku.
Kemacetan ini pasti akan berlalu seperti kehidupanku yang macet di masa lalu. Hutang menumpuk, kehidupan cintapun ikut macet.
Seakan tidak ada jalan keluar, seperti bernafas dalam lumpur. Kadang ingin keluar dari hidupku karena sudah sangat sesak.
Kematian anakku membuat hidup ini serasa tak berarti. Tuhan cabut saja nyawaku, desahku dalam setiap do'a ku. Tapi Allah SWT menjawab do'aku dengan pertolongan-Nya.
Diangkatnya bebanku satu per satu. Beberapa teman memberikan pekerjaan sampingan untuk melangsungkan hidupku dan aku dapat perlahan-lahan membayar hutang. Kehidupan keluarga ku semakin stabil, dan aku terus menekan perasaan ku, menghilangkan kebencian ku, memaafkan dan mengikhlaskan.
Perjalanan hari ini semakin lancar sampai akhirnya tiba di tujuan. Demikian juga hidupku semoga saja kemacetan yang dulu tidak terulang lagi dalam hidupku.
Namun meski tersendat di sana-sini,
di balik setiap kemacetan, ada pelajaran hakiki,
bahwa hidup tak selalu lancar berlari,
kadang tersendat, untuk mengerti dan memahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H