Sebagai Partai yang dilahirkan oleh Jamiyyah NU, Maka kita dapat melihat bahwa mayoritas elit pengurus PKB baik di DPP, DPW dan DPC hingga DPAC merupakan figur yang telah melalui proses panjang jenjang kaderisasi di tubuh Keluarga Besar Jamiyyah NU.
Ada yang dari IPNU, IPPNU, PMII, KOPRI, GP Anshor, Fatayat, Muslimat dan banom NU lainnya. Boleh dibilang PKB merupakan partai yang menjadi salah satu wadah distribusi kader NU dalam bidang politik yang paling dominan. Faktanya memang hari ini potensi kader NU sedemikian berlimpah. Proses kaderisasi di lingkungan Jamiyyah NU semenjak era kepemimpinan Alm Gus Dur di PBNU memang cukup berhasil. Kaum Muda NU dengan berbagai latar belakang menyebar baik di akademik, politik hingga menjadi pengusaha. Tapi di politik kelihatannya lebih menonjol.
Fenomena para aktifis dan kader NU yang masuk dunia politik terutama di PKB di semua tingkatan memang terlihat nyata dan jelas. Namun demikian, setelah banyak senior aktifis NU yang terjun di PKB ini telah menempati jabatan-jabatan politik baik di struktural partai, legislatif maupun di eksekutif kini mulai menunjukan tanda-tanda kehilangan sifat dan spirit keaktifisannya.
Mereka kebanyakan menunjukan tanda-tanda bergerombol dalam satu gank oligahrky nepotis yang saling menopang dan menguatkan selama itu menyangkut kepentingan politik personalnya. Penciptaan gerbong itu bisa berlatar aktifis pergerakan kampus yang sama, atau wilayah yang sama. Mereka saling menjaga dan memagari.
Dikenal misalnya dengan Geng PMII UGM/Yogjakarta, Gerbong Malang, Gerbong PMII Bandung dll. Itu untuk sekedar menunjukkan kutub kekuatan yang saat ini berkuasa di PKB. Yaitu gerbong Ketum Cak Imin, gerbong sekjen Cak Udin dan gerbong Mas Huda DPW Jabar.
Terkonsolidasinya gerbong-gerbong tersebut seringkali menggusur (menghabisi) kutub kekuatan lainnya meskipun sesama jenis kelamin aktifis pergerakan, tapi karrna beda daerah atau karena kepentingan strategis pragmatisnya tidak ketemu akhirnya lewat juga. Dihabisi hingga gerbong kader yang mengikutinya. Sebagus dan se berprestasi apapun sosok kader tersebut di PKB.
Pun fenomena itu terjadi di tingkat DPW. DPW Provinsi Jawa Barat sebagai contoh. Kepemimpinan Oligarki Syaiful Huda sebagai Ketua DPW sangat kentara. Baik di lingkaran pengurus DPW maupun kendali terhadap DPC-DPC menggunakan skema PMII Bandung Raya banget. Bergerombol seperti paguyuban atau seperti ngurus komisariat saja.
Dalam pemaknaan yang lain, dengan situasi dan kondisi seperti ini maka berbondong-bondongnya aktifis NU masuk ke PKB maka ketika sudah di dalam dan menjadi bagian dari kutub kekuasaan maka kita menemukan fenomena hilangnya semangat dan spirit serta jiwa aktifisnya. Tak ada daya kritis, semua membebek.
Tak peduli Apakah dia dulunya pernah menjadi Ketua Banom NU sekalipun semisal Ketua PC IPNU, PC PMII Maupun PC GP Ansor. Apalagi sudah menjadi anggota DPRD, semua kekritisannya dalam membaca situasi internal akan terlihat tumpul setumpul tumpulnya. Mereka ketakutan dengan dosis yang begitu besar. Sehingga, bagaimana mau mengkritisi pemerintahan demi kepentingan rakyat, mengkritisi internal saja tak berani.
Sebagai contoh yang lain, Saya melakukan sesuatu yang berbeda, pada pilkada kabupaten Tasikmalaya 2020 kemarin, saya totalitas memperjuangkan Ketua DPC PKB Kab Tasikmalaya Haris Sanjaya agar maju di Pilkada. Berjuang di partai sendiri agar mendapatkan rekomendasi partai. Pertimbangannya karena beliau kader terbaik partai, 20 tahun berjuang membesarkan partai, 2 periode jadi sekretaris dan 2 periode jadi Ketua DPC PKB. Lalu 3 periode jadi anggota DPRD dan eriode ketiga menjadi wakil ketua DPRD.
Berhasil meningkatkan dan mempertahan suara dan kursi PKB dari 5 kursi menjadi 8 kursi pada pileg 2014 dan 2019. Di urus hingga last minute di Desk Pilkada DPP PKB . Segala upaya, cara dan daya tak tembus juga. Melawan politik subjektif dan dendam Syaiful Huda pasca Muswil PKB Jabar sebelumnya. Padahal sudah jelas paket pasangannya, peluang kemenangan hingga rekomendasi sesepuh ulama dan pengurus PCNU merujuk ke sosok Haris Sanjaya.