[caption id="attachment_211498" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Membaca postingan Admin Kompasiana "Mempertimbangkan Etika Jurnalistik dari PBNU" yang menyoroti postingan tulisan Kompasianers Adi Supriadi berjudul "PBNU Halalkan Nonton Video Porno" menarik untuk di cermati. Saya melihat admin Kompasiana cukup profesional dan proporsional menanggapinya. Karena bagaimanapun, sebagai kanal jurnalisme warga, Kompasiana juga memiliki kewajiban untuk benar-benar menegakkan Toc Kompasiana sebagai rambu-rambu terwujudnya pergulatan ide, pemikiran yang sehat dari suara warga dengan berbagai latar belakang. Saya memcoba menelusuri pemberitaan seputar konferensi pers PBNU tersebut, dan mencoba pula membaca secara berulang ulasan Bung Adi Supriadi dalam tulisannya di Kompasiana. Pada akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa dari dua persfektif itu kita menangkap pesan utama adanya perbedaan yang tajam dari dua arus utama pemikiran dan pendekatan konteksnya. Setahu saya, di lingkungan Jam'iyyah NU dalam melakukan penilaian sebuah kasus atau masalah jika harus melihatnya dari sisi fiqh menggunakan referensi-referensi yang bersifat ushuliyah (ushul fiqh) Ahlussunnah Wal Jamaah menggunakan manhaj (metode) pengambilan hukum itu dengan 4 hal " Al-Qur'an, Hadist, Ijma dan Qiyas". Dalam penentuan sebuah hukum syari'at, para ulama di lingkungan NU selalu mendasarkan pada kaidah-kaidah ushul fiqh yang didalamnya pasti mempertimbangkan teks dan konteks sekaligus. Sebagaimana kita membaca sebuah ayat dalam Al-qur'an, maka dalam bacaan hari ini kita juga harus memahami asbabun nuzulnya(sebab-sebab turunnya) ayat tersebut ketika Rasulullah menerima wahyu. Lalu bagaimana pula konteks turun ayat kala itu di terapkan dalam konteks kehidupan sosial ummat saat ini. Persoalan-persoalan yang bersifat kontemporer (kekinian) yang tak ditemukan kasusnya pada kurun 14 abad yang lampau ketika Nabi Muhammad SAW mengemban tugas kerasulan, menerima wahyu dan mendakwahkan Islam, tentu memerlukan kajian-kajian hukum (fiqh) dari orang-orang yang menguasai prasyarat diperkenankannya melakukan ijtihad. Prasyarat itu bisa dalam wujud penguasaan mendalamnya tentang ulumul Qur'an, Ulumul Hadist, dan ilmu-ilmu lain yang akan menjaga lahirnya sebuah ijtihad hukum yang sesat dan menyesatkan. Memang dalam sebuah keterangan, jika seseorang melakukan ijtihad, Jika ijtihadnya itu benar dia akan mendapatkan dua pahala, jika ijtihadnya salah dia akan mendapatkan satu pahala. Tapi dalam hal-hal tertentu yang menyangkut hukum syara, tak sepantasnya seseorang yang tak memiliki kualifikasi keilmuan mengeluarkan pendapat hasil ijtihad pribadinya dan menyampaikannya ke publik sebagai sebuah kebenaran apa adanya menurut agama. Apalagi seseorang yang belajar agama hanya dari nash-nash kitab putih, artikel-artikel di internet, tanpa pernah menjalani proses tafaqquh fiddiin yang tuntas. Apakah di pesantren (karena disanalah ragam ilmu-ilmu agama dipelajari) maupun dilembaga-lembaga formal pendidikan tinggi Agama. Nah dalam kasus postingan tulisan Bung Adi Supriadi ini, dari sisi judul saja sudah menunjukan hal yang memang membahayakan dan mencederai sebuah institusi ormas keagamaan ulama. "PBNU Halalkan Nonton Video Porno". Judul itu sudah menunjukan pernyataan. Berbeda misalnya jika judul tersebut menggunakan pertanyaan "PBNU halalkan Video Porno?", Karena jika judul dengan menggunakan pernyataan seolah-olah sikap PBNU benar adanya seperti itu, padahal analisa tulisan itu berasal dari berita di situs Arrahmah.com, sebuah situs berita yang tentu juga tak bisa dilepaskan dari konteks keberadaannya sebagai situs "Islam sebagai sebuah gerakan" yang berbeda semangatnya dengan bacaan Islam yang dipahami Jam'iyyah PBNU dan Jamaahnya, bukan dari rellease resmi yang disana nyata benar adanya sebagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga PBNU. Sehingga kesan yang muncul adalah pemelintiran dari pernyataan Ketum PBNU yang dalam konferensi pers itu menyoroti dua persoalan utama yaitu "bahaya situs-situs islam radikal yang menjadi sumber terorisme di Indonesia dan sangat meresahkan masyarakat. Dan memperbandingkannya dengan menyebut lebih berbahaya daripada situs-situs porno" KH. Said Aqil Siradj menyebutkan bahwa menonton situs porno secara hukum fiqh hukumnya makruh (dibenci), yang haram dan berdosa itu yang membuat dan yang menjadi bintang pornonya. Dalam kontkes hukum syara hukum itu umum dikenal ada 5 " Halal, Haram, Sunnat, Makruh, Mubah. Orang yang tuntas mempelajari ilmu fiqh pasti mengenal paling tidak lima hukum itu. Sementara saya melihat bung Adi Supriadi baru mengetahui hukum itu hanya dua Halal dan Haram. Hal ini terlihat dari kesimpulan yang diambilnya "Kemudian dengan menyatakan bahwa hukumnya makruh sama saja halnya PBNU melegalkan untuk peredaran Video Porno dan menghalalkannya, karena Makruh itu dalam katagori hukum Islam masuk kedalam Hukum Halal. Sejatinya hukum Islam itu hanya ada dua yaitu Halal & Haram. Makruh = Halal." Dalam kesimpulannya tersebut bung Adi sampai nambah-nambah bahwa sama saja PBNU melegalkan peredaran video porno. Opini yang dibangun Bung Adi memang kuat tendensinya. Kecenderungan untuk masuk dalam wilayah perang pemikiran, labelisasi Liberal, Sekularisme, Menyesatkan diakhir tulisannya pun mencerminkan itu. Logika-logika yang dibangunnya mencerminkan "onani" kebenaran. Sebenarnya hak setiap orang untuk memiliki keyakinan dan pemikiran seperti Bung Adi Supriadi itu. Dimana dalam banyak tulisannya banyak menyorot tentang serangan terhadap Liberalisme, Sekularisme dan Sesat. Sebagaimana ada pula orang yang menyoroti tentang radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme. Padahal dalam setiap fenomena yang didalamnya perlu untuk disikapi dari sisi maslahat dan mafsadat bagi ummat, kaidah ushul fiqh mengatakan " Dar'ul mafaasid muqaddamun 'alaa jalbil mashaalih" menghindari kemadharatan lebih diutamakan daripada meraih maslahat. Hanya sangat disayangkan, tulisan Bung Adi Supriadi tersebut kental nuansa menyerang lembaga PBNU sendiri sebagai ormas Islam yang didalamnya menghimpun para ulama ahlussunnah waljama'ah yang secara keilmuan saya meyakini (maaf tanpa bermaksud merendahkan) jauh sekali dari kapasitas keilmuan agamanya bung Adi Supriadi. Catatan: Saya berkenan berdialog dalam komentar selama menggunakan argumentasi yang sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H