Lihat ke Halaman Asli

Usman Kusmana

Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Dari Desa Mengepung Kota, Andai Perkampungan Kumuh Jakarta Itu Di Tata

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya merasakan tinggal di perkampungan padat penduduk di pinggiran kali Jakarta. Saat pertama menikah, saya membawa istri saya ke Jakarta, mengontrak sebuah kamar di daerah Tomang Banjir Kanal Jakarta Barat. Sebuah rumah yang bagian bawahnya ditempati oleh pemiliknya, sementara bagian atas terdapat 6 kamar yang lantainya dari kayu dan berdinding papan.

Penghuni kamar kontrakan itu rata-rata para pegawai Mall Roxy Mas yang masih single, hanya saya yang berdua bersama istri. Lingkungan kontrakan saya itu memang wilayah padat penduduk. rumah-rumah berdempet satu dengan lainnya, jalan masuk hanya berupa gang kecil. Saluran air di depan dan belakang rumah penduduk sudah berwarna putih dari pembuangan jamban rumah, yang ujungnya ke Sungai Ciliwung yang letaknya di samping pemukiman.

Penduduk Jakarta yang tinggal di komplek perkampungan padat penduduk ini memang rata-rata pendatang dari daerah. Tapi mereka sudah menetap sedemikian lama di Jakarta. Mereka bekerja dalam sektor-sektor informal. Berjualan aneka makanan keliling, atau menjadi penambal ban, bengkel motor, hingga pekerjaan lainnya yang bersifat tenaga buruh. Ditambah pula mereka yang datang karena ikut saudaranya, atau dibawa temannya yang bekerja, lalu mereka tinggal ngekos dan ngontrak di Jakarta. Mereka dari desa mengepung ke kota, mengadu nasib dan peruntungan hidup di Jakarta yang begitu kerasnya.

Tinggal di Perkampungan padat penduduk seperti itu, jangan berharap seperti tinggal di perumahan elit atau rumah sendiri di kampung. Suasana kehidupannya ramai tak pernah sepi. Jangan pula berharap idealitas sarana air bersih dan sanitasinya, karena jelas bahwa sarana air bersihnya sudah bercampur dengan pembuangan limbah rumahan. Kalaupun membuat sumur sendiri, airnya pasti sudah berubah warna dan baunya. Tapi mereka warga Jakarta atau yang tinggal disana, tetap saja menikmati dan bertahan disana. Karena prinsip mereka, biarlah di Jakarta hidup seadanya, asal ada buat memejamkan mata istirahat di malam hari sudah cukup, yang penting bisa bekerja dan mencari lembaran rupiah di Jakarta.

Jika datang musim hujan, sudah dipastikan banjir melanda. Karena begitu sungai Ciliwung meluap, tumpahlah semua ke perumahan penduduk. Tempat yang saya tinggali pun pernah sampai terendam setinggi 2 meter. Tapi mereka seakan sudah imun dan terbiasa. Begitu air surut, rumah dan lingkungan sekitar mereka bersihkan  dan mereka tempati kembali. "Mau kemana lagi..?" begitulah kira-kira ungkapan mereka.

Atau jika terjadi musibah kebakaran, maka resikonya satu perkampungan itu akan kena semua, karena saking padatnya pemukiman itu sehingga menyulitkan petugas pemadam kebakaran memadamkan apinya karena sulitnya jalur jalan.

Kondisi sosial masyarakat Jakarta kenyataannya memang sudah seperti itu, mau bagaimana lagi. Tapi alangkah indahnya jika pemukiman padat penduduk disekitar bantaran kali atau sekitar jalur yang dilintasi sungai Ciliwung itu ditata dengan baik. Dipola dan ditata bagaimana agar secara perhitungan keamanan dari banjir dan kebakaran lebih antisipatif. model blok rumah dan arah bangunan dibuat lebih permanen dengan posisi yang diatur, sehingga kebutuhan jalan, saluran drainase, sarana air bersih dan pembuangan limbah rumahan juga tertata dengan baik.

Model rumah susun memang lebih memungkinkan dibuat. Jadi sepanjang bantaran kali itu dibuat bangunan yang permanen dengan konstruksi yang kokoh yang mampu menampung banyak penduduk Jakarta. Boleh jadi bangunannya itu dibuat dengan model memanjang kiri dan kanan dengan disambungkan oleh jembatan ditiap lantainya. Di tengah antara rusun itu jalur jalan yang sifatnya jalan lingkungan.

Jakarta itu sudah tidak mungkin dilakukan pembangunan rumah penduduk yang horizontal, karena lahan begitu sulit dan mahal. Penataan pemukiman penduduk harus dengan model rumah susun. Karena hal itu akan melindungi warga dari bencana banjir yang selalu rutin datang setiap tahun. Selain itu faktor kesehatan lingkungan juga bisa lebih ditingkatkan.

Namun penataan dengan model seperti itu tentu memerlukan anggaran yang tidaklah sedikit. Selain itu pasti akan mendapatkan tentangan dari penduduk dan warga Jakarta sendiri. Karena mereka akan berfikir tentang asset tanah dan rumah yang mereka miliki. Tapi jika mau pemerintah sebenarnya bisa melakukannya. Asalkan diterapkan pola yang berkeadilan dalam implementasinya. Kalkulasi untung ruginya harus benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Selain itu pemerintah harus menjamin ketersediaan sarana penunjang lainnya yang akan membantu kenyamanan, kesehatan dan kelancaran beraktifitas warga.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah, bagaimana meyakinkan pada penduduk Jakarta akan pentingnya penataan lingkungan yang baik dan sehat. Jika saja pemerintah mampu memberikan pemahaman pada masyarakatnya, mampu menunjukan keseriusan program yang akan dijalankannya, masyarakat tentunya akan menyambut baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline