Lihat ke Halaman Asli

Usman Kusmana

Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Ketika Ajengan Kehilangan Pesantren dan Ummatnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di daerah Saya Pasundan, Ajengan itu merupakan sebutan untuk orang yang mengerti agama, menguasai banyak ilmu Islam. Sama sebutannya dengan Kiai atauUstad. Seorang ajengan yang tinggal di suatu kampung, biasanya tinggal dalam satu kompleks yang disana ada Mesjid, Madrasah, Lembaga Pendidikan pesantren.

Aktifitas rutinnya selalu berkutat pada menjadi imam sholat berjamaah di mesjid, mengajar anak-anak sekolah agama di siang hari dan mengaji di malam hari. Selain itu pula mengisi pengajian atau majlis taklim ibu-ibu dan bapak-bapak, entah mingguan atau bulanan. Disamping tentunya jika ada yang mengundang ceramah agama di even tertentu dari jamaah tetangga kampung atau desa, mereka juga suka dating dari satu mimbar ke mimbar lainnya.

Seorang Ajengan biasanya menjadi panutan masyarakat, tempat bertanya dan berkeluh kesah ummat, mengadukan masalah diri dan keluarga yang dihadapinya. Selain itu jika ada warga yang meninggal dunia, mereka juga yang bertanggungjawab mengurusinya, dari mulai memandikan, mengkafani, menyolatkan, menguburkan hingga memimpinnya tahlil hingga beberapa hari.

Seorang Ajengan memiliki kedudukan yang terhormat, dengan segala ketulusan dan keikhlasannya dia disegani dan diikuti setiap pembicaraannya. Dia memerankan tugas sebagai pewaris Nabi yang menjalankan fungsi dakwah dan pengayom aqidah Ummat. Kehidupannya sederhana, tak digaji Negara, tapi mereka selalu berada dalam kehidupan keluarga yang tentram, harmonis dan qonaah dengan apa yang diterima dan dijalaninya.

Penghasilan mereka tak lebih dari infak shadaqah dari jamaahnya, iuran alakadarnya dari santri dan peserta didiknya di madrasah, pemberian dari panitia pengajian yang sama sekali tak pernah mematoknya. Karena ajengan yang benar tak pernah mematok harga. Sedikasihnya kalo istilah orang Jakarta. Tapi mereka benar-benar dijaga kehidupannya rezekinya oleh Allah SWT.

Ajengan yang seperti itu masih banyak jumlahnya, mereka istiqomah mendidik agama anak-anak di kampong, mendidik ummat, selalu menjaga muru’ah, tak menyenangi kegaduhan dan keributan dalam membincangkan agama. Mereka berdakwah dengan santun dan lembut. Bicara mereka adalah ilmu. Apa yang mereka sampaikan pada ummat adalah siraman kesejukan, seperti oase dalam keringnya padang pasir.

Tapi, kini muncul kenyataan lain. Mungkin karena factor modernism dan kemajuan zaman. Akses informasi yang begitu mudah diterima, televisi sudah masuk ke hampir setiap rumah, termasuk rumah ajengan. Perkembangan social politik juga begitu cepat berubah. Godaan politik dan kekuasaan membombardir eksistensi sebenarnya dari seorang ajengan.

Banyak ajengan yang tergoda oleh politik, masuk dan bermutakholit, bercampur baur dengan kekuasaan. Bahkan tak sedikit ajengan di kampung yang menjadi pengurus partai, menjadi ketua PAC di tingkat Kecamatan, masuk dijajaran partai tingkat Kota/Kabupaten, dan bahkan menjadi anggota DPRD.

Karena Ajengan terjun kedalam partai politik seperti menganggap masuk ke dalam sebuah agama. Menganggap parpol sebagai agama, maka mereka kelihatannya terkesan over, berlebihan. Apalagi mereka punya dalil agama yang mereka ketahui dan kuasai. Secara sikap mereka juga lebih merasa asyik dengan ragam fasilitas dari terjunnya mereka dalam politik. Mereka menjadi punya akses dan kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, mendapat jatah dana aspirasi dari dewan yang didukungnya.

Mereka disibukan dengan hal-hal yang menjadi remeh temeh politik seperti itu. Ajengan jadi lupa pada mesjidnya, jarang menjadi imam berjamaah, yang tadinya biasa mengajar agama anak-anak, sekarang sering libur, karena harus banyak rapat politik, mengurus administrasi bantuan dan aspirasi, hingga event-event politik partai lainnya. Ummat yang berbeda pilihan politik dengannya disikapi dengan sikap tidak baik. Pun sebaliknya ummat juga akhirnya menjadi antipati.

Ada dua study kasus di daerah saya dengan fenomena seperti itu. Keduanya ajengan besar, bahkan yang satu seorang muballigh kahot dengan sebutan Kiai Haji. Dia terkenal sebagai penceramah yang ulung, raja mimbar. Beliau memimpin pesantren dengan puluhan santri awalnya. Tapi karena menjadi pengurus sebuah parpol, aktifitas dakwahnya nyaris berhenti, pesantrennya juga tak lagi terurus, tak ada lagi santri. Beliau aktifitasnya sudah urusan elit di tingkat politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline