Lihat ke Halaman Asli

Usman Kusmana

Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Aktifis Anti Korupsi Di (Ter) Jinakkan ?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu sore saya mendapatkan pesan dari seorang teman, bahwa temannya teman saya yang aktifis LSM anti korupsi tingkat lokal di daerah saya,  dalam waktu dekat  akan dilantik sebagai salah seorang dewan penasihat Perusahaan Daerah Pasar (PD. Pasar), bersama dua orang lainnya. Sebagai seorang kawan tentu saya senang mendengar kabar itu, tapi dalam rasa senang itu terbersit sebuah tanya didalam hati, apakah seorang aktfis LSM anti korupsi, yang selalu berteriak keras di media, mendatangi aparat kepolisian dan kejaksaan, menyoroti berbagai dugaan praktik korupsi yang terjadi di lembaga pemerintah, layak dan pantas menjadi bagian dari sebuah lembaga pemerintah daerah? yang tentunya disana bersinggungan dengan segala hal berkaitan dengan APBD daerah, yang selama ini justru banyak dikritisi oleh mereka.

Saya terkesan dengan para aktifis anti korupsi yang ada di Jakarta, sebagaimana ICW misalnya. Mereka muda, cerdas, kritis dan memiliki sikap menggaris dengan tegas prinsip dan etika kerja sebagai aktifis LSM anti korupsi, jika berkaitan dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Sehingga mereka terlihat profesional dan ahli dalam hal mengawal dan melaporkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di berbagai lembaga negara termasuk kementerian. Mereka membangun kerjasama yang baik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga beberapa kasus yang dilaporkan ICW berujung ke pengadilan dan banyak pula yang sudah di vonis.

Kehadiran lembaga-lembaga pemantau atau LSM yang concern terhadap kasus-kasus korupsi tentu memiliki nilai strategis bagi perwujudan tatanan pemerintahan dan kemasyarakatan yang lebih baik. Mereka dapat menjadi watch dog yang bersama-sama Media mampu mendorong para penegak hukum di negeri ini agar menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga kasus-kasus korupsi dapat ditangani dengan baik, praktek korupsi di negeri ini dapat ditekan seminimal mungkin.

Namun demikian, tak sedikit pula lembaga-lembaga yang bergerak dibidang isu-isu korupsi terutama yang berada di daerah, banyak yang “masuk angin”. Tanpa bermaksud menggeneralisir, memang ada pola-pola gerakan mereka yang banyak mengangkat sebuah isu korupsi, ramai diberitakan di media, tapi ujung-ujungnya ” mereka dapat dibereskan”. Kalau istilah di daerah saya “Nguliwed ka tukang“, berteriak di depan, tapi sesudahnya bertemu di belakang. Bahkan ada pula informasi, mereka juga bekerjasama dengan oknum aparat tertentu baik di kepolisian dan kejaksaan, jika ada satu kasus yang diindikasikan mengandung unsur korupsi, datanya di oper ke para aktifis tersebut,  mereka membuat pressure melalui aksi demo atau di ekspose di media, lalu aparat menjalankan fungsinya sesuai mekanisme, memanggil pejabat pada dinas yang diributkan tersebut, yang pada akhirnya masing-masing berbagi jatah “pemberesan” dari permasalahan tersebut .

Atau dalam bentuk yang lainnya, para aktifis anti korupsi itu dijinakan dengan diberi jabatan tertentu dalam pemerintahan. Seperti Dewan pengawas di Perusahaan Daerah, Dewan Pendidikan, atau dewan-dewan lain bentukan pemerintah. Sehingga mereka terjerat sendiri dengan segala peran dan fungsinya tersebut, teriakannya menjadi sayup-sayup, dan yang pasti rontok kredibilitasnya di tingkat para aktifis LSM itu sendiri dan dimata publik pada umumnya . Atau juga lembaga-lembaga itu justru diberi gelontoran anggaran daerah dalam bentuk apa saja, entah judulnya workshop atau pelatihan apapun, atau beasiswa mengikuti pendidikan pasca atau doktoral terkadap para aktifisnya.

Kita tentu menyayangkan jika terjadi fenomena tersebut, bahwa frame dan jargon, serta teriakan anti korupsi itu hanya dijadikan alat bargain demi kepentngan pribadi dan kelompoknya semata. Lagi-lagi kita disuguhkan sebuah praktik permainan. Apakah di Republik ini semuanya bisa jadi permainan dan dipermainkan? sungguh miris..!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline