Lihat ke Halaman Asli

Usman Kusmana

Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Indonesia Dikepung Pendemo Tolak Kenaikan BBM, Rakyat Kepung Kantor Pos Giro

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbagai pemberitaan di media Televisi menayangkan seputar kemungkinan terjadinya demo besr-besaran menjelang pengumuman kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 1 April 2012.  Bahkan boleh dibilang H-3 menjelang pengumuman tersebut, Indonesia akan dikepung aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya yang merasa keberatan dengan kebijakan pemerintah tersebut, karena dianggap akan semakin menambah penderitaan rakyat, semakin menyengsarakan kehidupan seharo-hari masyarakat akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari naiknya harga BBM sebesar Rp. 1500 dari harga semula sebesar Rp. 4.500.

Kemungkinan terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran di setiap daerah seluruh Indonesia, tentu telah meningkatkan kewaspadaan aparat keamanan, bahkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mem-BKO kan aparat TNI untuk ikut serta memback up kepolisian dalam mengamankan kemungkinan terburuk dari aksi-aksi demonstrasi tersebut, agar tidak sampai kebobolan, dan mengantisipasi aksi demsonstasi itu agar tak berujung anarkisme. Pemerintah tentu tak menghendaki peristiwa politik di tahun 1998 saat masa mahasiswa yang berdemonstrasi terhadap rezim Suharto berujung pada aksi pendudukan gedung wakil rakyat DPR/MPR, dan berhasil memaksa Suharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.

Memori sejarah kita memang penuh dengan gelap gulitanya kerusuhan, sebuah aksi massa yang tak terkendali beresiko terjadinya chaos politik yang meluas sehingga menjadi aksi rusuh masa. Kita tentu tak mengghendaki hal tersebut terjadi lagi dalam lemaran sejarah perjalanan bangsa ini, karena betapa memilukannya peristiwa Mei 1998 itu, yang memakan ribuan korban jiwa, dan kerugian material yang trilyunan jumlahnya. Kita begitu traumatik jika mendengar kerusuhan, meskipun pada banyak titik, masih saja terjadi.

Saat sebuah kebijakan pemerintah dipaksaka pada rakyat, saat penolakan diekspresikan dalam bentuk kerumunan masa, akibat tak tersedianya lagi kanal-kanal demokrasi dari pihak-pihak yang notabene sebagai wakil rakyatnya. Saat anggota DPR sudah tersandera dalam balutan atas nama koalisi pemerintahan, maka mereka tentunya menjadi bagian dari penentu kebijakan atas keputusan kenaikan BBM ini. Sehingga konstituen yang memilih kekuatan partai itu tak bisa lagi berbuat apa-apa, selain mengadu dan berteriak di parlemen jalanan.

Titik-titik panas api penolakan yang terdeteksi dari hampir seluruh Kota/Kabupaten dan provinsi di Indonesia melalui teriakan menentang kebijakan kenaikan BBM ini, kiranya akan menjadi alat uji sejauhmana sebuah kebijakan pemerintah pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat. Bagaimana alat ukur kepekaan rezim penguasa mampu mengatasi bergejolaknya rakyat, sehingga tak berakhir pada aksi anarkhis yang merugikan masyarakat dalam skala lebih luas lagi.

Upaya fasilitasi yang dilakukan oleh aparat terkait penanganan aksi demonstrasi massa agar tak memancing keributan dengan pendemo memerlukan tingkat profesionalisme dan kesabaran aparat yang luar biasa. Terkadang kebengisan aparat dalam menghadapi pendemo ikut memancing eskalasi keributan yang lebih luas dan parah. Yang tak sedikit akan memakan korban luka dan nyawa dari pendemo maupun dari aparat itu sendiri.

Pada akhirnya sekeras apapun aksi demonstrasi, kepungan massa ke instansi-instansi vital kenegaraan, sebuah keputusan pemerintah selalu tak mungkin bisa ditolak dan dilawan. Negara memiliki kekuatan pemaksa yang bila perlu atas nama hukum dan keamanan menggunakan senjata. Berbeda jika kekuatan momentum itu berubah menjadi sebuah kekuatan revolusi rakyat yang sudah tak lagi terkendali dengan pola dan cara penanganan aparat sebagaimana prosedur tetapnya, jika kenaikan harga BBM ini mampu membangunankan memori kesadaran rakyat, menariknya dalam sebuah keberanian sikap dan gerak, maka kekuatan senjata seperti apapun takkan mampu menghentikannya, paling hanya akan memungkinkan terjadinya banjir darah dan bergelimpangannya tubuh rakyat.

Tapi lagi-lagi, hal seperti itu hanya akan mencatatkan sejarah pilu, yang selalu kita simpan dalam skenario terburuk bangsa ini. Selain itu, hal ini juga berhubungan dengan tingkat ketersediaan energi perlawanan dan penolakan dari rakyat itu sendiri. Biasanya, jika sudah diputuskan, berbagai ragam protes hanya akan bertahan dalam hitungan hari yang terbatas, sebagaimana terbatasnya energi protes rakyat. Rakyat akan berfikir untuk mengatasi kebutuhan hidup pribadinya, apalagi misalnya dana kompensasi kenaikan harga BBM itu segera disalurkan, dana BLSM menjadi semacam air penyiram panasnya hati dan pikiran rakyat (yang dianggap) miskin.

Jika sudah begitu, segalanya akan berjalan kembali normal, aksi pengepungan dalam aksi demonstrasi menolak kenaikan BBM akan beralih menjadi aksi pengepungan kantor pos giro, mengantri dan berduyun mencairkan uang 150.000 rupiah, dan jika sudah begitu, semuanya akan lupa, akan berganti menjadi sebuah penilaian bernada pujian “Ternyata pak SBY murah hati membagi uang pada rakyatnya”. Lalu dimanakah pada saat itu, orang-orang yang mengepung Istana dan mengepung Indonesia?  Mereka tentunya hanya bisa mengepalkan tangan dan geram hati tiada terkira…Tapi tak mampu lagi berbuat apa-apa. Miris.!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline