Dua hari ini media lokal Tasikmalaya sedang ramai dengan pembicaraan seputar hengkangnya H. Dede Sudrajat dari Koalisi 21 (PDIP-PKB-Gerindra) yang mengusungnya sebagai kandidat Walikota pada Pilkada 9 Juli 2012 nanti. H. Dede Sudrajat yang sudah menandatangani MoU dengan Koalisi 21 memutuskan hengkang dan berpindah haluan dengan menjadi calon wakil dari Calon Walikota yang diusung Koalisi Masyarakat Madani (PPP-PBB-PBR) yaitu H. Budi Budiman.
Calon Walikota dari KMM yaitu H. Budi Budiman merupakan pengusaha dari Group Mayasari yang bergerak di bidang angkutan Biskota (Do'a Ibu, Primajasa dll), taksi, dan pusat perbelanjaan Mayasari Plaza di Kota Tasikmalaya. Sementara calon wakilnya H Dede Sudrajat adalah seorang Pengusaha Bus Budiman dengan armada yang sudah mencapai ribuan, yang saat ini juga menjabat sebagai wakil walikota.
Peristiwa keluarnya H. Dede Sudrajat dari komitmen Koalisi 21 tentu melahirkan kehebohan tersendiri dalam konstalasi politik di Kota Tasikmalaya, karena anggota Koalisi menganggap H. Dede Sudrajat telah mengkhianati kesepakatan, sementara selama 9 bulan ini mereka telah mengkomunikasikan kepada konstituennya dengan rasa cinta, pengorbanan materi dan tanpa dukungan logistik sama sekali dari kandidat yang diusung (istilah elit-elitnya MoU dengan mahar dianjuk").
Sehingga saat Kandidat yang diusungnya mengambil keputusan lain dengan menandatangani kesepakatan dengan kandidat Walikota KMM tanpa diawali dengan pembicaraan dengan koalisi 21, maka rasa kecewa dan dikhianati melanda jajaran elit partai-partai yang tergabung dalam koalisi 21 tersebut. Sehingga reaksinya ada komponen dalam partai tersebut yang melakukan tindakan pembakaran terhadap berbagai atribut yang memasang foto H. Dede Sudrajat, seperti Baligho, Kalender, Spanduk dll. Peristiwa ini diliput berbagai media cetak dan elektronik lokal dan nasional.
Langkah politik H. Dede Sudrajat ini kemudian dianggap juga sebagai langkah yang tak mengindahkan etika dan tata krama politik...(masih adakah etika dalam politik gitu?), karena menjelang masuk tahapan pendaftaran keluar begitu saja dari koalisi, sehingga hal tersebut dianggap merugikan secara moril dan materil bagi Koalisi 21, dan seorang ketua Partai akhirnya berencana mengadukannya ke ranah hukum...nah lho..!!
Yang menarik bagi saya sebenarnya adalah kenyataan menyatunya dua group perusahaan besar dalam bidang angkutan itu. Saya melihatnya sebagai kenyataan betapa sudah mengguritanya kekuatan Kapitalisme dalam politik, mulai pusat hingga daerah. Kekuatan politik bermodal besar sudah mulai merambah ke wilayah-wilayah kekuasaan.
Dulu saat Pilkada 2007, Jalan-jalan di kota Tasikmalaya macet total tak bisa bergerak karena jalanan penuh oleh Bus Budiman yang diturunkan saat kampanye, Lalu bagaimana ceritanya jika pada Pilkada 2012 ini dua group raksasa biskota bersatu dalam satu paket pasangan Calon. Nanti Bus Budiman dan Bus Primajasa dan Do'a Ibu akan menutup jalan-jalan di Kota Tasikmalaya. Saya sarankan kelak saat kampanye pasangan ini warga kota jangan punya niat jalan-jalan ke pusat kota Tasikmalaya, karena pasti akan tersiksa dalam kemacetan.
Terlepas dari berbagai analisa politik menyangkut siapa yang paling layak dan paling berpeluang menang dalam event Pilkada itu, saya melihatnya sederhana saja. Bahwa Kekuatan uang sedang menjajah kita. Memaksa memori elit politik terjebak dalam pusarannya, hingga mereka pun seakan tak bertaji untuk menghadapinya.
Konon, gara-gara pergerakan politik ini, semua kekuatan-kekuatan politik yang ada menyatukan kekuatan pada kandidat incumbent H. Syarif Hidayat. Sehingga paket akhirnya hanya akan tinggal dua saja. Pasangan pengusaha Bis/Kapitalis dengan Pasangan Politisi/Birokrat/Sosialis Proletar.
Saya menyimaknya dengan senyum dan khawatir yang sangat. Pilkada ini menyeret masyarakat Kota Tasikmalaya dalam pusaran 26 Desember 1996. Ngeri dan menakutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H