Lihat ke Halaman Asli

Usman Kusmana

Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Ini Alasan Saya Mengapa (Tidak) Mendukung Prabowo

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mumpung belum masuk bulan puasa. Jika sudah puasa saya akan sekuat tenaga menahan diri untuk menulis hal-hal seperti ini. hehe

Boleh dong sebagai warga negara saya mengekspresikan sikap mendukung dan tidak mendukung terhadap salah dua calon yang berlaga dalam Pilpres 9 Juli 2014 nanti.

Mengapa saya mendukung Jokowi sudah banyak saya tulis semenjak Jokowi maju dalam Pilgub DKI lalu, dan bacaan serta penilaian saya tidak bergeser sedikitpun. Rasionalitas bacaan saya tetap saya pegang erat, tak bisa digoyah oleh cacian, hujatan dan pandangan orang lain, selama argumentasinya tidak bisa membuat dasar argumentasi saya kalah. Sering di media facebook, twitter dan group-group diskusi saya sampai pagi meladeni diskusi dengan hatter maupun lovers nya Jokowi. Dan saya kukuh menentukan pilihan ke Jokowi dan tidak mendukung Prabowo-Hatta dengan alasan dan argumentasi rasional yang saya pahami dan pegang.

Mengapa saya tidak mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa?

Pertama, Hati nurani saya mengatakan bahwa Jokowi itu orang baik dan orang benar. orang Jujur dan sederhana, orang ndeso yang apa adanya. Mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa " Kita harus menguatkan yang benar, bukan membenarkan yang kuat".

Jika melihat postur koalisi parpol pengusung dan pendukungnya, Prabowo-Hatta di dukung oleh koalisi (Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB, Demokrat). Itu mayoritas dan kuat secara kuantitas angka dukungan modal awal. Tapi jika saya membaca sepintas saja, disana banyak masalah, pimpinan-pimpinan parpol dalam koalisi itu sudah terkena masalah hukum yang serius, menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi, sudah divonis, sedang proses persidangan, atau menuju tahapan pen-tersangka-an oleh KPK (LHI dengan kasus impor sapinya, SDA dengan kasus haji nya, ARB dengan Lapindonya, HR dengan dugaan mafia migasnya, AU, SB dengan hambalangnya, MSK dengan izin hutannya) dan lain-lain. Pertanyaan saya mengapa mereka bisa kompak berkumpul?

Kedua, Dari sisi PS sendiri, saya melihat sisi gaya retorika dan tampilan gagahnya fisik bukan sebagai sesuatu yang istimewa. Dipenuhi dengan accesories apapun yang mencerminkan kehebatan ala Sukarno maupun Suharto, jika hanya luarnya saja tetap tidaklah kena. Saya koq cenderung melihat gaya komunikasi PS seperti "ma'af" pepatah " Tong Kosong Nyaring Bunyinya". Dia menang di intonasi, tapi tidak di diksi dan substansi. Apalagi PS diindikasikan terlibat persoalan HAM dalam penculikan aktifis 98. Saya tak ingin mengupas seputar latar belakang keluarganya, karena saya bukan orang yang suka berwacana seputar SARA.

Ketiga, Karena poin 1 dan 2 diatas saya koq lantas melihat dan menduga adanya sebuah bentuk hidden agenda, semacam politik konspirasi dalam kutub koalisi parpol itu. Terlepas dari persoalan perang ideologi di dalamnya (antara Nasionalis+Tradisionalis/Aswaja Vs Nasionalis+Modernis+wahabis+fundamentalis+pragmatis),  Politik Amien Rais sebagai otaknya seolah akan mengulang peta politik saat awal-awal reformasi dulu. Ketika dengan kekuatan Poros tengah menghalangi Megawati dengan PDIP nya sebagai pemenang pemilu, lalu mendorong Gus Dur sebagai Presiden. Dan ditengah jalan GD ternyata di jatuhkan.

Bukan sesuatu yang mustahil konspirasi politik itu akan terulang kembali. Ketika misalnya PS yang menang jadi presiden, mereka akan ramai-ramai ikut gabung dalam politik bunyi-bunyian seputar pelanggaran HAM PS. dengan berbagai alasan dan argumentasi yang sifatnya pembenaran. Apalagi kalau kekuatan Jokowi-JK gabung misalnya, tentu mereka akan dengan leluasa memainkan MPR RI. sampai akhirnya MPR RI melakukan sidang istimewa menurunkan PS dan menaikan HR. Itulah target utama tujuan politiknya.

Saya tidak mau nasib PS sebagaimana GD. Saya lebih senang pemimpin kedepan itu bukan lagi orang yang pandai bicara dan berpidato, bukan lagi yang suka nunjuk-nunjuk. Tapi pemimpin kedepan di republik ini orang yang seperti baginda Rasulullah SAW, selalu bersilaturrahmi (wasiilul arham) dalam bentuk blusukan menyapa warganya, melakukan tugasnya 'Ath'imuth Tho'am (memberi makan)/yuhibbuunal fuqorooi wal masaakin/cinta fakir miskin) bagi rakyatnya yang kekuarangan dalam pengertian mikro maupun makro. Pemimpin yang sederhana dan tidak suka menumpuk-numpuk harta (Alhaakumut Takaatsur), yang sadiidul hayaa'i wattawaadhu (yang punya rasa malu dan rendah hati)

Saya ingin dipimpin oleh orang biasa tapi luar biasa kepribadian dan kiprah nyatanya, dia yang memimpin dengan hati dan fikiran jernih. Bukan dengan teriakan dan telunjuk semata. Itu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline