Lihat ke Halaman Asli

Usman Kusmana

Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Ketika Komunikasi Politik KIH dan KMP Buntu

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik disamping dibaca sebagai sebuah teori (ilmu), pada dasarnya juga merupakan seni. Politik sebagai sebuah ilmu tentu berangkat dari endapan beragam analisa yang sumbernya dari fakta, fenomena dan segala hal yang berkaitan didalamnya. Kemudian diramu menjadi sebuah definisi, dan uraian penjelasan lainnya yang bersifat sistematis dan logis.

Sementara sebagai seni, politik dibaca sebagai bentuk ketajaman feeling dan intuisi dalam membaca, bertindak dan mengambil sebuah langkah atau keputusan politik. Politik sebagai seni harus mencerminkan permainan yang cantik, komunikasi yang lentur dan meniscayakan tercapainya tujuan dengan indah dan menyenangkan, meskipun dalam prosesnya boleh jadi memeras fikiran, perasaan dan ada sedikit nuansa ketegangan.

Simpulnya politik yang berdasar dari keajegan konsep dan ilmu yang memadai, penguasaan seni politik yang baik akan menciptakan rumusan relasi politik yang harmoni. Siapa mendapat apa dalam politik (baca:kepentingan) pasti terkait dengan Daor (berputar) dan Tasalsul (saling terkait) dengan sirkulasi waktu dan tempat yang jelas dan tidak tak terbatas..

Ketika sebuah fenomena politik terjadi di lingkaran panggung politik tingkat elit, baik di eksekutif maupun di legislatif, dengan penanda seperti apa yang terjadi di DPR RI saat ini, sampai-sampai muncul dua pimpinan DPR RI, versi KMP dan KIH, maka itulah apa yang disebut sebagai buntunya komunikasi politik, dengan berbagai alasan.

Buntunya Komunikasi Politik KMP dan KIH

Kita memang disuguhi sebuah tontonan yang tidak mencerminkan tuntunan bagi rakyat dalam hal etika dan demokrasi politik di republik ini. Ketika Pilpres berakhir dan dimenangkan oleh Jokowi-JK (Koalisi Indonesia Hebat), kekuatan Koalisi pendukung Capres Prabowo-Hatta yang dinamai Koalisi Merah Putih mengkristal dan menyatukan kekuatan di Parlemen.

Mereka membabat habis pimpinan di DPR dan MPR, lalu kemudian menyapu bersih pimpinan di Alat Kelengkapan Dewan, baik di Komisi, BURT , Badan Kehormata dll yang jumlahnya mencapai 45, dengan tanpa mengikutsertakan kekuatan anggota parlemen dari fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat yang mencakup PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan terakhir gabung PPP dibawa kepemimpinan Romahurmuziy yang merupakan hasil Muktamar PPP di Surabaya dan disahkan oleh Kemenkumham.

Kita melihat langkah-langkah para jendral lapangan dari fraksi-fraksi KMP yang meliputi Golkar, Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat sudah menunjukan itikad “kurang baiknya” (kalaupun tidak disebut buruk niat) dengan cara menggunakan pola-pola komunikasi dalam sidang-sidang paripurna yang dijalankan oleh Pimpinan DPR RI, yang mencerminkan ketidaknetralan, dan seakan memerankan kepentingan politik KMP ansich. Tak terlihat kelenturan dan keluwesan komunikasi politik diantara mereka. Sangat nyata terlihat, mereka megusung agenda membabat habis KIH di Parlemen. Pada titik ini, sudah kita ambil simpulan, tak ada komunikasi politik yang terjadi didalamnya. Karena format kepentingan politik KMP seakan sudah dikunci oleh mereka sendiri, sehingga segala daya kepentingan itu diamankan.

Pada sisi ini kita melihat sebuah cara berkomunikasi politik yang sudah dilandasi emosional yang tanpa kompromi. Sehingga tidaklah salah ketika hal itu dibaca secara jauh sebagai bagian dari upaya memuluskan hidden agenda lebih strategis yaitu menjegal jalannya pemerintahan Jokowi-JK atau bahkan memakzulkannya di tengah jalan. Sehingga skenario Meng-Gus Dur-kan Jokowi pun beredar liar.

Sementara itu, fenomena yang terjadi dalam kekuatan fraksi-fraksi di KIH menunjukan respon yang tak kalah sengitnya. Hingga pada akhirnya mengeluarkan mosi tidak percaya pada pimpinan DPR dan memilih pimpinan DPR dari kekuatan KIH sendiri. Kekuatan politik fraksi-fraksi di parlemen yang terbelah dengan kekuatan fraksi yang sama, yaitu masing-masing 5 fraksi membuat kegaduhan yang berkepanjangan di DPR. Hal ini sungguh tak elok dan mencederai semangat dan nilai-nilai demokrasi di Republik ini.

Kita dipertontonkan adu gagasan dan argumen yang menafikan rasionalitas. Secara psikologis terlihat sekali gaya komunikasi dan statemen dari masing-masing kekuatan mencerminkan politik tumpas kelor di parlemen. Lihat gaya seorang Fahri Hamzah sebagai seorang pimpinan DPR tak terlihat kesantunan dan sikap kenegarawanannya sebagai seorang pimpinan. Jika sudah begini, maka politik adu otot akan terus terjadi. Tak ada lagi komunikasi politik yang menempatkan diri terlebih dahulu dalam kesejajaran sebagai sesama anggota DPR (wakil rakyat) yang kebetulan ada di fraksi partai A atau B saja.

Boleh jadi fenomena politik seperti itu situasional dan kondisional. Apapun tentu bisa dibicarakan dan dimusyawarahkan, dengan satu syarat kelegawaan kedua belah pihak untuk menurunkan tensi, ego, dan prinsip menang-menangan sendiri atau kelompoknya. Jika ada kekakuan dan kerigidan dalam membangun komunikasi, maka coba di evaluasi saja, personil, pola dan gaya serta strateginya. Dalam politik tetap berlaku, tak ada kawan abadi dan tak ada lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Selain itu politik juga bisa berarti the arts of possibilities, seni segala kemungkinan.

Jadi dalam politik apapun tetap mungkin selama ada ruang komunikasi yang dibangun. Ada kehendak bersama untuk berfikir sesuatu yang besar dan strategis demi kepentingan bangsa dan negara. Tidak semata kepentingan diri dan kelompoknya. Jika masing-masing kekuatan keukeuh dalam frame dan grand design politik yang ketat, maka akan sangat sulit membangun tatanan politik yang baik di republik ini, yang ada anya terus terjadi politik bunyi-bunyian, kegaduhan yang terus dipertontonkan kepada rakyat.

Jika Eksekutif, dalam hal ini presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla sudah melantik kabinet dengan tagline Kerja-kerja-kerja, sudah mulai pada berlari berbuat dan bekerja untuk rakyat sesuai tupoksinya, maka di parlemen berlaku tagline ribut-ribut-ribut. Sehingga tugas legislasi, budgetting dan controlling sebagai tupoksinya DPR menjadi terganggu dan tidak berjalan baik, Akhirnya rakyat akan menghukumi wakil-wakilnya dari Parpol dengan stigma yang negatif. Dan tentunya hal ini tidak kita harapkan. Kita berharap semoga semuanya berjalan baik, dan komunikasi politik para elit kita di DPR RI tidak buntu lagi. Karena kalau terus buntu akan terasa “Sakitnya Tuch Disini” bagi seluruh rakyat di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline