Setiap melewati jalan yang sama, lelaki itu selalu berhenti, menarik nafas sejenak, lalu meneruskan lagi jalannya. Ini adalah kali ke lima, setelah pada akhirnya aku turut ikut menemaninya.
Lain kali pada sebuah bilik peninggalan warung kopi kecil, ada bekas-bekas abu pembakaran disana, tepat disisi dinding sebuah bangunan tua. Lain kalinya lagi pada sebuah taman, disana tak ada apa-apa kecuali dua pohon besar yang saling berdampingan. Yang barangkali salah satu dari keduanya bakal merasa kesepian jika salah satu --yang lain- tanggal karena puting beliung. Ada juga sebuah jembatan, disana di dindingnya tercoret sebuah nama, dengan arang. Tidak, tepatnya sepasang nama. Salah satunya terhalang daun-daun dari tumbuhan yang hidup liar disegala sisi, serupa perasaan manusia. Rupanya cuaca musim panas dikota itu melanggengkan sepasang nama itu.
Setelah dari beberapa tempat itu, kami kemudian melanjutkan lagi perjalanan, entah kemana lagi, aku tidak tahu. Lelaki itu masih juga tak mengatakan satupun kalimat sejak pertemuan kami yang pertama. Kira-kira dua minggu lalu. Oh, bukan. Tepatnya seminggu lima hari yang lalu. Tapi apa bedanya? Bukankah kita memang sering melebih-lebihkan sesuatu?
Di tengah jalanan yang riuh lelaki itu kemudian memacu sepeda motornya, seolah memberikan isyarat dan tekanan pada siapapun yang ada disekitarnya, bahwa kami tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Sejauh yang aku tahu, speda motor itu kemudian berbelok menuju selatan, tapi bukan kepantai, karena udara sekitar terasa lebih dingin, tanda bahwa kami memang sangat jauh dari uap laut. Ia berhenti sejanak disisi jalan yang pelan-pelan menanjak. Ada seorang kakek disekitar situ, ia --lelaki itu, kemudian turun dari sepeda motor sambil memberi isyarat bahwa 'kami' harus menambah tekanan angin pada roda bagian belakang.
Lucu saja, kenapa ia harus menggembosinya dulu, sebelum akhirnya menambahnya dengan tekanan angin yang baru. Kakek itu terkekeh melihat tingkah lakunya. Sementara disisi lain, ia terus-menerus memperhatikan bagaimana cara kerja seorang penambal ban, seolah-olah ia berprofesi sebagai mandor bagi para tukang yang bekerja membangun sebuah hotel, dan mesti setiap saat memberikan instruksi.
Di tengah-tengah semua hal yang tidak habis kumengerti itu, seekor kucing kecil menggeliat dikakiku. Aku terjingkat ketakutan, sambil meracau seenaknya. Aneh, sejak kapan aku takut pada kucing. Aku memang bukan penyuka binatang, tapi tidak tertarik pada kucing kecil yang menggemaskan atau sekurang-kurangnya merasa kasihan padanya yang ditinggalkan induknya, sungguh sebuah sikap yang keterlaluan.
Lelaki itu kemudian datang mendekatiku, mengajak kucing kecil itu bermain bersamanya. Mungkin itu sebuah cara agar hewan kecil itu menjauh. Atau barangkali ia sebenarnya pernyuka kucing. Entahlah, lelaki itu begitu dingin, jarang berbicara dan hanya memberikan isyarat. Dua hal itu saja sudah membuatku bertanya-tanya, kenapa aku harus ikut dengannya, menyusuri semua jalanan dan setiap tempat yang aku tidak tahu sebelumnya. Apa otakku sudah mati, atau aku sedang dihipnotis?
~
Seorang kurir datang mengetuk pintu rumahku sambil menenteng sebuah paket. Aku menerimanya sebagai hadiah, bukan sebagai kiriman. Toh, siapa juga yang berniat mengirimiku sesuatu tanpa memberi pesan terlebih dahulu. Biasanya begitu, karena setiap hal yang dikirim oleh siapapun selalu diiringi dengan sebuah pesan masuk diponselku.
Sesampainya didalam kamar aku belum langsung membuka bingkisan berwarna cokelat khas Kantor Pos itu. Ku biarkan ia sejenak, serupa nasi dalam tungku yang baru saja matang. Airnya mesti menguap dulu, setidaknya untuk bingkisan itu alias hadiah itu, mesti kubiarkan sejenak agar rasa penasaranku menguap dan tidak menimbulkan rasa sakit kemudian jika yang kutemukan disana tidak sesuai dengan ekspektasi-ku.