Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Sihir Tanah Surga

Diperbarui: 12 April 2018   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: tekoneko.net

Ketika kamu mendengar cerita ini, itu berarti, aku sedang bertarung dengan gelombang diselat Maluku.

Perahu yang kami tumpangi itu gonjang-ganjing dihantam perut ombak, sedang Pak Man, katakanlah namanya begitu, sang pemilik perahu sekaligus guru memancingku itu masih saja tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menyelamatkan kami dari maut samudra. Ia tetap gamang menatap ke arah luatan lepas, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Sementara aku, sebagai orang yang menceritakan kisah ini padamu, sedang mati-matian menahan gugup, takut, dan kengerian akan kemungkinan jika perahu ini terbalik, dan kami akhirnya tenggelam.

Aku memperhatikan betul setiap sisi dari sampan kecil itu. Air bercipratan dimasing-masing sisinya, termasuk haluan dibagian depan, dan juga buritan dibelakangku. Sedang saat itu, entah sudah berapa liter yang masuk ke badan perahu, dan aku harus bersusah payah mengurasnya seperti menguras sungai kecil dengan mata air yang sedang murka. Tiada henti-hentinya.

Ini bukan sekali dua kali aku ikut Pak Man mengitari perairan Maluku, itu karena aku sering ikut memancing atau memukat ikan-ikan bersamanya. Bulan lalu ia berkata langit sedang bersahabat, dan seorang yang tidak pandai berenang sepertiku tidak perlu menguras otak dengan pertimbangan-pertimbangan tentang perahunya yang terlampau kecil, atau kadang-kadang tidak memiliki sema (kalimat dalam kurung ini, hanya sekedar pemberitahuan, kalau kata sema itu ialah pelampung sampan yang ada disetiap sisi kiri dan kanannya, terikat pada dua buah lata kayu sebagai sayap penahan gelombang), atau kemungkinan tambalan dibadan perahu yang kemudian bocor tiba-tiba ditengah lautan, atau biasanya aku sering sekali berpikir tentang ada berapa pelampung cadangan yang tersedia diperahunya. Paling tidak sebuah jerigen kosong dikeadaan darurat.

~~~

"Kamu masih belum bisa berenang Mam?" Tanya Pak Man suatu kali ketika kami hendak pergi memancing ditempat yang sangat jauh, yang kedalamannya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sekedar info:

Namaku Imam, Imam Samudra tepatnya. Namun setelah peristiwa besar yang terjadi di Bali bertahun-tahun lampau, dan aku yang menyaksikan itu semua ditivi semasa kecil, akhirnya memutuskan untuk menghapus bagian terakhirnya. Dan jadilah namaku hanya Imam saja, tanpa Samudra. Beberapa orang, termasuk ayah dan ibuku juga memperkarakan soal keputusanku menghapus sebagian nama itu. Tapi, seperti yang kamu tahu, aku tidak sedang menceritakan diriku, aku sedang menceritakan Pak Man.

Karena ku anggap pertanyaan Pak Man tadi tidak terlalu penting, juga karena ia bisa dengan mudah sekali mendapati jawabannya, aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, kecuali dengan senyum malu-malu.

Perahu itu lalu kami seret ke bibir air. Dari sini aku naik dan mengarahkan perahu agar berbalik menghadap ke tengah laut, lalu sebagaimana biasa, aku bertugas mengayuh, dan Pak Man bertugas menghabiskan rokoknya saat aku sedang melakukan tugasku.

Sungguh pekerjaan yang membosankan, karena Pak Man enggan sekali membeli sebuah mesin penggerak, dan lebih senang memintaku atau lebih tepatnya menyuruhku mendayung sampai ke tengah lautan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline