Malam Pertama.
"Kau ingin apa Dinda?" lamat - lamat suara itu menggema lewat dinding hitam kamarnya.
"Apa yang aku inginkan?" Dinda menerawang dalam gelap dinding kamarnya, mencari asal suara yang mengganggunya beberapa malam ini.
"Tentu!"
"Aku ingin jadi Kartini, bolehkan!"
"...." Tak ada balasan hanya suara hembusan lembut angin yang mendesir, seumpama nafas yang keluar dari hidung raksasa, ia dapat mendengar jelas dan membayangkan sosok yang berbicara setengah sadar dengannya.
"Hallo?" Dinda sedikit terganggu ketika suara gamang itu tidak menyahut permintaannya, "Apa ada orang disini?"
~~~~
Tidak seperti biasanya Dinda berdandan seperti itu, pikir salah satu teman serumahnya, ketika pagi dengan wajah berseri - seri Dinda keluar kamar dengan mengenakan kebaya, juga dengan rambut yang disanggul. Tak banyak komentar yang terpercik dari bibir kawan - kawannya, kecuali semacam tanda tanya dengan gaung yang luar biasa bergetar dipikiran mereka, "Perempuan ini sudah sinting!" sambut salah satu penghuni rumah itu menyambangi tempat duduk diruang tamu, Dinda hanya tertawa, sedikit terbahak, batuk dan tawanya menggambarkan wataknya yang tidak berwarna, juga melukiskan kemiskinan yang mengakar ditubuhnya.
Malam Kedua.
"Apa yang kau inginkan Dinda?" suara itu terdengar lebih dekat dari malam - malam sebelumnya, seperti sedang berbisik dengan deru hembus nafas yang meronta - ronta ditelinganya.