Setelah tidak tidur semalam suntuk, pagi itu Liyan duduk termangu di teras rumahnya, sambil melamun. Anak - anak di perkampungan itu sedari pagi buta telah menapak ke jalanan menuju sekolah, saling berebut kesempatan dengan anak - anak ayam untuk mengalahkan mentari, berlomba dengan waktu, dan berlari lebih cepat dari hukum alam, seperti yang sekolah ajarkan pada mereka.
Duduk sendiri, diam - diam waktu mengutuk Liyan dengan ingatan abadi tentang suaminya, Komaruddin. Betapa ia mencintai lelaki itu, meski Komaruddin pada setiap kali mereka bertemu selalu berkilah bahwa ia tak pernah mengenal Liyan sama sekali. Liyan juga sering kebingungan mengurut awal mula cerita yang serupa aib dikeluarga kecilnya itu, Ketika Komaruddin pada suatu waktu tiba - tiba lupa pada Liyan, dan dirinya sendiri yang seorang suami bagi seorang perempuan yang terkenal sering menggunakan gincu dibibirnya. Juga pada suatu ketika Komaruddin dengan gagahnya meminang Deysi, janda kembang yang kehilangan suami karena kekerasan diluar kekuasaan hukum negara mereka.
~~~~
Sejak saat pernikahan Komaruddin dan Deysi berlangsung, bibirnya sering berkerut tipis serupa adonan bekas sumpah serapah dan cacian, juga tangis yang tiada henti, bercampur dan membentuk lengkungan pucat dan tidak bersahabat pada senyuman. Tiada hari tanpa tangis dibibirnya, juga wajahnya yang bertambah garis - garis oleh beban tanggung jawab dan cinta sebagai seorang istri, karena Komaruddin pernah bersumpah tak mengenal Liyan, apalagi menikahinya, dan tentu tidak juga untuk menceraikannya.
"Saya bukan suamimu!" kata Komaruddin di kantor desa, ketika Liyan meminta untuk segera diceraikan oleh imam, dan kepala desa.
"...." tangis itu keluar dengan suara yang tertahan ditenggorokannya.
"Coba lihat namanya, Komaruddin!, Heh, namaku Amir, bukan Komaruddin" sambung Komaruddin alias Amir di depan kepala desa dan imam yang menyaksikan guguatan itu.
"Tapi wajah bapakkan mirip! Coba lihat" sambung Kepala desa menengahi, antara suara Komaruddin yang memburu dan hati Liyan yang terbakar serupa api bertemu dengan kertas.
"Itukan hanya wajah, ada juga yang bilang kalau saya itu mirip bapak gubernur, tapi saya tetap saya, saya Amir, bukan bapak gubernur, apalagi Komaruddin suami si janda ini!" Komaruddin meninggalkan Kantor Desa dengan wajah mengkerut geram, pergi melewati pintu dengan menggebrakan tangannya, membuat Liyan kaget dan semakin terpukul.
Meski begitu, ia tetap mencintai Komaruddin, suaminya, yang juga imamnya.
~~~~