Sejak kecil, Taslim memang sudah bercita - cita menjadi seperti itu. Ketika beberapa anak - anak disekolah dasar memilih untuk menempuh cita - cita yang menginjak tanah (Read : Cita - cita yang tak berhubungan dengan laut dan perairan), ia memilih jalur ekstreem yang juga sekaligus menggaruk geli perut kawan - kawannya, yaitu Nelayan.
Sekarang puluhan tahun kemudian Taslim benar - benar mewujudkan cita - citanya. Ia begitu bangga, juga membanggakan hasil jerih payahnya selama ini, "Menempuh dan meraih cita - cita itu tidak gampang!" katanya suatu kali dalam rapat terpadu nelayan se kabupatennya, "Bermimpi, berusaha, dan juga berdoa untuk segala usaha kita!" tambahnya ketika menutup pidatonya
~~~~
Di tepi pantai sore itu, dengan pemandangan ombak besar dan cuaca buruk yang menghimpit pendapatan para nelayan, Taslim duduk menyandarkan bahunya di buritan perahu. Selesai menambal perahunya yang bolong karena menabrak karang kemarin malam, ia kembali mengingat masa - masa kecilnya dengan menghembuskan asap tembakau dari lubang hidungnya, masih ia ingat betul bagaimana ia ditertawakan oleh kawan - kawannya ketika menyampaikan keinginannya untuk jadi seorang nelayan.
"Saya mau jadi nelayan, bu!" ia mengacungkan tangan selepas guru ilmu sosial itu menempelkan secarik kertas dipapan tulis berisi lima gambar berbeda. Ada polisi, ada dokter, ada tentara, ada astronot, juga ada dukun. Taslim tak memilih satu diantara kelima yang di sediakan ibu gurunya itu, ia memilih jalan lain. Meski sejak saat itu ditertawakan oleh teman - teman, bahkan gurunya sendiri, ia tetap memeluk erat cita - citanya itu seperti guling dan seorang lelaki kesepian dimalam hari, dan dikabulkannya beberapa puluh tahun kemudian.
Kabur dalam bayang - bayang ingatannya, ia masih bisa menemukan Kusnadi disana, di dalam memorinya. Teman sebangkunya itu tak pernah sependapat dengan Taslim dalam segala hal, termasuk cita - cita. Kusnadi menjerumuskan dirinya dalam angan - angan bakal menjadi seorang dokter spesialis kesurupan, maklum pada waktu itu di desa meraka tinggal tak pernah ada orang yang sakit lalu kemudian berserah diri pada jarum suntik dan resep obat dari dokter. Kebanyakan penduduk dikampung itu masih percaya pada ramuan - ramuan tradisional dan juga dukun, juga karena pada waktu itu tak pernah ada dokter yang mengunjungi tempat itu, jika ada maka dokter itu hanya akan sibuk mengurusi kekaguman semua orang, karena untuk pertama kali bersentuhan dengan peradaban kota.
Kusnadi pada akhirnya berbelok arah, dan memutuskan untuk mengubur seluruh mimpinya menjadi dokter. Kini ia seorang pegawai negeri, berseragam rapi setiap pagi, dengan senyum ramah, juga kerja keras yang menguras otak dan tenaga, untuk membuat laporan keuangan setiap harinya.
Tak jauh - jauh dari bayang - bayang tentang Kusnadi, dan setelah menghembuskan asap kretek selanjutnya, Taslim teringat pada Wita. Perempuan yang dulunya bunga desa itu kini seorang Makelar proyek - proyek politik, Wita menganggap dirinya sebagai orang lapangan dari pemerintah, setiap hari keluar masuk dusun di perkampungan terdalam dipojok Sulawesi untuk mengumpulkan data - data diri dari orang yang akan mendapatkan beras murah. Meski terlihat sederhana, pekerjaan itu ternyata merenggut semerbak wangi bunga desa dari diri Wita, ia kini tampil berbeda jauh dengan ketika waktu itu ia dengan penuh ambisi bercita - cita akan menjadi istri seorang polisi, menjadi istri cukup baginya, karena ia tak mau menggenggam senjata, terlalu berbahaya untuk suaminya kelak. Taslim tersenyum geli, membayangkan tingkah laku Wita yang sudah melewati masa pubertasnya dimasa - masa sekolah dasar saat itu.
~~~~
Angin dari utara mengehempas rimbunan daun ketapang ditepi pantai itu, salah satu dari rombongan daun jatuh ke arah Taslim, menabrak lamunannya, dan membuat lelaki itu terperanjat memandang sekililing. Ada seorang lelaki lain disana, lelaki itu sedang tersenyum memandang ke arah Taslim, Taslim membalas senyum itu, kemudian lelaki itu melanjutkan senyum itu dengan tawa, Taslim kebingungan dan lelaki itu semakin menertawakannya.
"Kamu kenapa Lim?" kata lelaki itu menepuk bahu kawannya yang hampir tertidur di buritan perahu, "Ketawa - ketiwi sendiri, senyum - senyum seperti orang sinting pula!"