Kemarin saya bertemu salah satu sahabat lama, dikesempatan itu kami bercengkarama ringan, beberapa hal yang kami ceritakan tidak lepas dari soal pendidikan, karir, dan juga hal yang tidak boleh ketinggalan dalam setiap pembicaraan, meski tak linear tetap kami bicarakan persoalan ini, yaitu jodoh. Menyenangkan memang, ketika lama tak berjumpa bisa membantu kita memiliki banyak bahan cerita yang bisa ditawar, dan ditertawakan lewat lelucon. Katakan itu soal pendidikan yang gagal, atau soal pekerjaan dan karir yang simpang siur karena selalu mendapatkan hasil yang jauh dari harapan, bahagia ketika masalah serius dalam hal hidup itu bisa kita ajak untuk bercanda, juga dijadikan bahan candaan. Namun sulitnya ketika kami sampai pada persoalan ketiga, jadi begini, pernahkah kita membuat perumpamaan bahwa cinta yang gagal itu perlu ditertawakan? atau sesekali perlu diajak bercanda agar tak selalu menyisipkan rasa sepat dalam keadaan romantis ketika bertemu sahabat lama?, saya rasa tidak selalu semudah itu. Saya juga bukan tipe orang yang suka berlama - lama membicarakan soal yang ketiga ini, juga sebenarnya tidak begitu cenderung diskriminasi dan hanya memikirikan soal kedua dan pertama. Tapi tak apa, setiap orang punya passionnya masing - masing, katakanlah ia seorang pekerja keras dalam bidang teknisi, maka dijamin karirnya juga selaras dengan usaha dan juga pendidikannya, ia akan senang bukan main. Akan tetapi beda hasilnya jika kita berbicara persoalan yang ketiga ini, apakah ia selaras dengan pendidikan dan karir kita?, tunggu dulu!, coba simak baik - baik kasus dari kawan lama kita ini (Read: kawan lama saya itu).
Dalam ingatan, teman saya ini lahir dari keluarga yang cenderung lebih terbuka dan plural. Kami sama - sama lahir di pojok Sulawesi tengah, tumbuh beriringan dalam Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya banyak mengenal sisi terbuka dari keluarga teman saya ini, kumpulan orang dewasa yang nekat meninggalkan tradisi demi kemajuan berfikir, "Selama itu baik, juga sudah difikirkan baik - baik, kenapa tidak?" dan teman saya ini juga mewarisi keahlian itu dari ayah dan kakeknya, juga ibu dan neneknya yang terkontaminasi dari ayah dan kakeknya. Lalu semuanya berjalan lancar selama masa - masa ketika kami berpisah dan dia memutuskan lebih dulu melanglangbuana ke kota - kota besar semasa Sekolah Menengah Atas (SMA).
Lalu sekarang kami bertemu lagi setelah Tujuh tahun perpisahan kami yang mengharukan itu. Dia datang membawa kabar gembira soal pendidikannya disalah satu Universitas swasta di kota Tinutuan, juga kabar bahwa ia telah digadang - gadang akan mendapatkan posisi penting disebuah perusahaan batu bara milik salah satu pemodal asing di Kalimantan. Kecuali soal ketiga, soal jodoh ia tertunduk murung ketika kami memasuki episode ini, padahal semenit yang lalu kami baru saja selesai menertawakan Rektor dan Pemilik perusahaan batu bara yang ternyata saling bersekongkol.
Pembicaraan terakhir kami waktu itu, ialah persoalan ia yang ditunda pernikahannya karena belum benar - benar menjadi seorang sarjana. Meski sudah berkomitmen panjang, dengan durasi lama pacaran sudah satu tahun, pada akhirnya keyakinan mereka berdua berbelok. Dan saya sebagai penonton, selalu terkesima pada cerita - cerita menarik tentang cobaan hidup dari tiap lakon manusia, apalagi soal asmara yang tidak bisa ditebak, seperti politik. Akan tetapi saya juga tidak bisa abai pada persoalan itu, mengingat bahwa saya juga bakal berkomitmen, meski tak begitu muluk sampai setahun, dan tak perlu setegang seperti yang dialami kawan saya itu.
Berkali - kali saya coba melupakan polemik biasa dari teman saya itu, polemik anak muda yang masih berkobar api Idealismenya, tapi baiklah mari kita bicarakan itu sebentar saja.
Ia gagal menikah, eh salah bukan gagal nikah, tapi ditunda! Oh, ya? Apa bedanya?
Sekilas itu wajar, hiruk pikuk dunia percintaan tidak jauh berbeda ramainya dengan dunia persilatan dan dunia politik. Teman saya ini masih percaya pada harapan bahwa mereka masih bisa merujuk kembali hubungan sebagai sepasang kekasih yang tidak halal (Ingat : tidak halal, kalimat ini saya gunakan dalam makna yang berbeda dengan belum halal), lalu kemudian membangun kembali rencana pernikahan mereka kemudian hari. Diluar konteks pernikahan segala sesuatu yang menghubungkan dua insan yang saling mencintai tidak akan mendapatkan pengakuan dan pijakan hukum yang pasti, apapun bentuk dan jenis usahanya.
Sekilas persoalan gagal nikah teman saya ini juga terlihat biasa, Lah diluar sana masih ada juga terjadi yang namanya perceraian. Tapi apakah kebiasaan dan frekuensi rata - rata kejadian bisa kita jadikan tolok ukur sebuah kisah asmara? baiklah, mungkin bisa mungkin juga tidak, saya sendiri sempat terisak dan menangis saat mengetahui teman saya itu tak mampu menahan emosinya mengingat semua kejadian dan juga pengorbanan dirinya dan keluarganya saat itu.
Coba kita renungkan sejenak, apakah kita benar - benar membangun keluarga yang saling mencintai? Terlepas dari konflik didalamnya, apakah itu cinta antara kita dan istri (ini pengecualian bagi saya yang belum menikah), dan sebaliknya. Ataukah sebagai sebuah proyek hidup yang sudah diperhitungkan untung dan ruginya terlepas dari perasaan cinta? karena cinta bisa tumbuh seiring waktu katanya. Jawabannya bisa ia bisa juga tidak, tergantung selera masing - masing.
Kira - kira begitu saya mengimbangi perasaan teman saya ini, seperti pertarungan abadi antara penganut politik a'la Machiavelli dengan penganut politik a'la Plato, ketika ia dan kekasihnya enggan untuk berpisah (karena katanya masih sama - sama saling cinta), juga ketika si teman saya ini sebagai lelaki yang di Tolak lamarannya, eh maksudnya ditunda pernikahannya karena alasan masih terikat dengan Universitas dan belum memiliki pekerjaan tetap.
Jika kita berkaca pada dua kutub raksasa politik ini, dunia kita, hidup kita, pilihan - pilihan dan keyakinan - keyakinan kita seperti terbelah dalam dua kategori, Hitam dan Putih. Lalu dibagian manakah cinta dan impian tentang membangun sebuah keluarga dapat kita tempatkan? Ketika Hitam mewakili Machiavelli dengan kaidah - kaidah Pragmatisnya, dan Putih yang mewakili Plato dengan azaz Api Idealismenya. Lagi - lagi sesuai selera, iyakan? Karena persoalan seperti ini juga bagian dari hidup.