"Tak disangka Pardi sudah kaya sekarang" Kata Sukardi pada istrinya siang itu.
"Lah itukan rezeki dari Gusti Alloh, siapa yang tau!" balas istrinya sedikit ketus setelah menaruh segelas kopi di balai bambu.
"Iya juga ya bu, Maha Gusti itu bisa saja membolak balikan sesuatu" balas Sukardi cengingisan pada istrinya.
Tiga belas tahun sudah Sukardi tinggal bersama istrinya di pedalaman Sulawesi. Dahulu ia tinggal di Jakarta, kota ganas yang membuatnya bisa berkenalan dengan Pardi dan Hanum yang kini jadi istrinya. Berbekal nekat ia memberanikan diri ke jakarta, lalu terlunta - lunta selama setahun di bawah kolong jembatan bersama kedua temannya itu.
Dari Pardilah Sukardi belajar mengetahui sisi rimba kota Jakarta, ketika ia kemudian jatuh sakit di enam bulan pertama ia tinggal di kota itu, hanya ada Hanum dan Pardilah yang akhirnya membuatnya serasa diperlakukan layak manusia. Dari Pardi pula Sukardi belajar banyak tentang pendirian, tentang watak keras yang harus dibentuk jika ingin bertahan hidup di kota culas seperti Jakarta. Pardi sederhana saja dalam ingatan Sukardi dan istrinya, seorang yang berprofesi macam - macam, pagi hari mereka akan menemukannya telah tiada di kamarnya, Karena sudah berdiri di bawah lampu rambu lalu lintas untuk menjajahkan koran. Siang hari saat Sukardi dan Hanum berada di gubuk mereka, Pardi belum juga pulang untuk makan siang, karena ia sudah berada di seputaran pasar Tegalan untuk menyanyikan beberapa buah lagu dengan gitar mungilnya lalu menunggu rezeki dari tangan - tangan manusia Jakarta yang sebenarnya tidak menyukai musik dan lagu dari alat maupun mulut bau seorang pengamen seperti Pardi. Hal lain yang selalu membekas diingatan Sukardi ialah persoalan cita - cita Pardi, ketika suatu kali ia dengan semburat wajah murung pulang selepas adzan isya, dan tiba - tiba saja berceloteh.
"Aku akan jadi kaya, Lihat saja, mereka yang memandangku sebelah mata harus menyaksikan keberhasilanku" kalimatnya bertubi - tubi menabrak dinding gubuk, dan membuat dua sahabatnya Hanum, dan Sukardi terjingkat, bangkit ke arah Pardi kemudian mencoba menenangkan manusia malang itu.
"Biar mereka tobat!" sambung Pardi, belum selesai dengan ocehannya.
"Iya mereka harus tobat kawan" Sukardi menyahut, ia terbakar emosi melihat teman senasibnya terkucilkan di tengah ibu kota negaranya.
"Betul, karena neraka sudah sesak!" sambung Hanum, agar tidak merasa dianggap membelot.
~~~~
Setelah menikah, Sukardi dan Hanum kemudian memutuskan untuk berpindah haluan, kisah tentang daratan Suiawesi yang belum banyak berpenghuni membuat mereka sedikit bernapas lega. Berbeda dengan sepasang suami istri itu, Pardi tetap bersikukuh untuk tinggal di kota Jakarta, kota yang ia sebut memiliki senja paling manis di seluruh tempat yang pernah ia datangi. Senja yang katanya selalu ingin di potong oleh para penulis untuk diberikan pada kekasihnya. Senja di mata Pardi yang tidak akan di temui di tempat manapun selain Jakarta.