Suara palang perlintasan mendengung kembali, samar dari balik bumbungan rumah di depanku cahaya perlahan mendekat, kereta akan kembali melintas lagi. Pemandangan seperti itu cukup menghiburku akhir - akhir ini, akupun lupa menghitung berapa kali telah menghabiskan bercangkir - cangkir kopi di tempat itu, hanya kopi, kopi yang kupesan dengan rasa pahit yang perlahan bisa ku nikmati, dan sebuah foto, foto seorang gadis yang selalu ku bawa terselip disalah satu ruang dompet butut milikku.
Bunyi kereta mengiris keheningan malam, anginnya sekejap membuat rambut seorang perempuan yang menunggu di depanku terangkat, di jalan raya tepat di perlintasan itu, tak ada orang lain yang menunggu palang perlintasan itu terbuka, hanya seorang perempuan dengan sepeda motornya. Lama kupandangi wanita itu, ia masih gadis, terlihat dari caranya berbusana. Lamat - lamat suara kereta itu menjauh, palang pintu terangkat ke atas dan ia perlahan pergi membekaskan kesunyian yang kembali menusukku. Dari jauh ingin kutahan sebentar saja gadis itu, aku meneriakan tanya dalam hatiku, "Tak ingatkah kau dengan kesehatanmu sayang?, berbusana seperti itu bisa membuatmu masuk angin!"
"Menjadi perempuan tidaklah gampang, jangan seenaknya mengatur kami dengan pikiran burukmu. Laki - laki!" suara perempuan itu terdengar jelas di telingaku, seolah ia mendengar kata - kata yang kulontar sinis padanya, sementara tubuhnya perlahan hilang dibalik tembok rumah yang menghalangi pandanganku.
Suasana hening kembali tercipta, pemilik warung kopi sudah satu jam tersungkur kelelahan dan tertidur disalah satu bangku panjang. Hanya ada aku dan potret seorang gadis di tanganku, angin berdesir lembut, sunyi senyap itu melumat ingatanku kembali pada kata - kata Endah, gadis yang wajahnya ada difoto yang terselip disalah satu ruang dompetku.
"Aku mencintaimu, Mas!" katanya dari seberang telepon, "Tapi apa kau ingat kata Abah? pernikahan bukan hanya soal cinta, kau pasti tau itu"
Telefon itu ditutup. pesan terakhirnya membuatku nyaris tak sadarkan diri. Berada jarak dengan Endah selama dua tahun, membuat kesimpulan hubungan kami itu perlahan bergeser, tak kami sadari awal kesalahan itu dari mana, yang jelas pantang hukumnya menikahi seorang sarjana tanpa bekal secukupnya, kata - kata itu keluar dari mulut Abahnya beberapa minggu yang lalu.
Hari sebelumnya aku memberanikan diri menanyakan perihal mahar meminang gadis pujaan hatiku itu padanya, setelah berucap hening di antara kami tercipta, ia menahan nafasnya sebentar, lalu kemudian menjelaskan berbagai macam persiapan yang mestinya harus segera dilakukan, aku diam saja menunggu nominal angka yang akan keluar dari bibirnya, sebagaimana lelaki aku tidak bisa sedetail Endah yang sanggup mengingat berapa ekor lembu, dan seekor sapi muda, juga beras dan berbagai macam persiapan lainnya.
"Lima puluh juta, Mas!"
"Kaukan tau bagaimana kondisiku saat ini!"
"Iya mas, tapi itulah permintaan Abah, dan tak bisa di tawar lagi" Penjelasannya terhenti sejenak, menarik nafas lalu ia kembali melanjutkan kata - katanya, "Apalagi Endahkan anak terakhir, Mas!"
"Kita bisa cari itu nanti setelah menikah sayang!" suara isak terdengar dari seberang telepon, "Aku mencintaimu Endah, dan aku akan melakukan apapun demi kamu"