Lihat ke Halaman Asli

Uneg-uneg Sebagai Lurker di Kompasiana

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Salam, ke semuanya. Mau coba-coba posting artikel kedua nih. Sekedar kilas balik, saya join di Kompasiana sekitar Januari 2011. Kala itu akun saya dibuat untuk mengomentari artikel tentang dua hal, PSSI era Nurdin Halid (dan segala kebobrokannya) dan masalah training aktivasi otak tengah yang sempat booming kala itu. Selepas itu saya vakum dalam aktivitas di Kompasiana karena krisis finansial keluarga yang membuat kami (saya dan istri) harus jatuh-bangun membangun pondasi finansial kembali. Eh ndilalah, kok waktu bulan november kemaren iseng-iseng jalan-jalan lagi ke Kompasiana, malah nemu konflik yang saya rasa cukup parah. Saya bilang parah karena kasus ini sampai harus diperkarakan (proses hukum) karena teror yang dilakukan sudah jauh melebihi batas kewajaran. Somasi sudah dilakukan tanpa ada tanggapan dari pihak tergugat. Ada yang tau konflik antara BK dan para pemuja Arab?

Di pertengahan desember, saya lihat perlawanan dari rekan-rekan dari pemuja Arab mulai menurun tanpa diketahui penyebabnya. Karena proses hukum yang dilakukan belum diketahui perkembangannya, saya mulai iseng-iseng melihat kanal bola yang langsung teriak WTF di kantor (untung jam istirahat. Bos lagi makan di luar XD~). Saya terkejut melihat kanal bola penuh dengan berita tragis Diego Mendieta. Terlebih dengan komentar koplak dari Walikota Solo yang sekarang, FX Hadi Rudyatmo. Saking geramnya saya sampai ikutan menulis artikel tentang komentar bapak Rudyatmo ini.

Dari situ saya mulai menelusuri artikel-artikel lain pasca pemberitaan Mendieta selesai. Dan saya menemukan hal yang tak kalah heboh, yaitu perang artikel antara pendukung PSSI, pendukung KPSI, dan netral-mania yang entah kenapa terlihat lebih condong ke KPSI. Parahnya lagi, only few of them has their rights for being an article. Hanya beberapa dari artikel-artikel yang bertebaran tersebut, punya hak untuk menjadi artikel (dalam artian ya bener-bener artikel yang sifatnya informatif baik dari segi fakta di lapangan, keilmuan maupun ajakan untuk hal-hal yang positif). Dan artikel-artikel ini mayoritas berasal dari pendukung PSSI, netral-mania, ataupun rekan-rekan yang lebih memilih untuk mengulas sepakbola dari luar negeri. Belum pernah satupun artikel bermanfaat yang dapat saya baca dari pendukung KPSI.

Selebihnya saya kategorikan sebagai artikel sampah baik dari semua pihak, pendukung PSSI, pendukung KPSI dan netral-mania. Mengapa SAMPAH? Mengingat Kompasiana adalah wadah untuk menulis artikel yang seharusnya menjadi ajang berbagi baik informasi aktual, keilmuan maupun ajakan untuk hal-hal positif. Sedangkan kategori artikel sampah tersebut hanya berisi ejekan dan umpatan yang saling berbalas-balasan (termasuk diantaranya artikel yang sok pinter tapi pemahaman penulis atas hal yang ditulis kebalik 180 derajat a.k.a ngawur bin ngasal yang akhirnya bikin orang tepok jidat karena gagal paham dengan artikel tersebut. Dan sayangnya, jenis ini hanya saya jumpai dari pihak pendukung KPSI).

OK, itu dari segi artikel. Dari segi komentar, mayoritas dari kedua (atau tiga kalo netral-mania diitung) saling lempar sindiran dan umpatan. Hanya beberapa yang mampu menjaga kesantunan dalam berkomentar. Dan lagi-lagi, komentar model ini hanya bisa dijumpai dari pendukung PSSI, salam pak Zen Muttaqin ^^a, dan kadang dari netral-mania. Beberapa lainnya berkomentar dengan karakter sintingnya yang cukup menghibur. Selebihnya yah ... bisa dilihat lah seperti apa. Sedangkan dari pihak pendukung KPSI, selalu dengan argumen yang sama, yang sudah berulang-kali dipatahkan, namun diulang-ulang seperti kaset rusak. Kalau melihat hal ini saya jadi teringat saat ospek di kampus dulu. Senior menerapkan dua poin aturan. 1. Senior selalu benar, 2. Kalau senior sampai salah, kembali ke poin 1. Nah, aturan ini yang dipakai oleh mayoritas pendukung KPSI.

Lalu dari segi akun. Umumnya, kalau orang membuat akun di dunia maya, ada dua pilihan. Menggunakan identitas sendiri atau menggunakan nama pena. Menggunakan identitas asli jelas wajib diverifikasi agar tidak ada fitnah. Menggunaan nama pena, wajib untuk tidak merujuk ke orang tertentu karena dikhawatirkan dapat menjadi fitnah. Seperti halnya saya yang memakai nama Kurotsuki Kaitou, tentu karena sebelumnya saya sudah mencari bahwa tidak ada nama tersebut baik dalam dunia nyata, dunia maya, maupun dunia cerita (komik, kartun, anime, sinetron, whatever :p). Apabila anda melakukan search atas "Kurotsuki Kaitou", anda akan menemukan akun twitter saya (don't bother to follow. I rarely tweet anything :D), akun disqus saya (lengkap dengan komentar2 saya di berbagai tempat), bahkan website saya yang sudah lama terbengkalai karena tidak punya waktu untuk menulis ^^a. Nah, ada satu akun yang melakukan kesalahan fatal dalam menggunakan nama pena (sepertinya dengan tujuan kloning). Yaitu akun LNM yang kemudian di-ban oleh admin Kompasiana. Mengapa admin sampai turun tangan? Karena akun LNM menggunakan nama asli seseorang, sama persis, lengkap dengan fotonya. Sehingga wajib bagi akun tersebut memverifikasi bahwa orang dibalik akun tersebut memang yang bersangkutan. Dengan penolakan "beliau", jelas bahwa akun tersebut dianggap palsu dan terpaksa di-ban. Entah setan mana yang menyambit orang di balik akun tersebut sehingga nekat melakukan hal bodoh seperti itu. Semoga hal ini tidak ditiru orang lain karena hal ini hanya akan menampakkan kebodohan pelaku.

Terlepas dari itu semua, permasalahan di dunia sepakbola Indonesia ini sebenarnya cukup rumit. Seseorang ditunjuk untuk membenahi carut-marut peninggalan Nurdin Halid. Namun belum lagi program berjalan sudah dirong-rong penguasa lama yang tidak rela digulingkan dari daerah kekuasaannya. Masih teringat kala itu PSSI berencana mereset kompetisi profesional (karena yang sebelumnya, a.k.a ISL, memang belum profesional dengan indikasi tidak ada good governence yang meliputi transparansi finansial, penggunaan APBD oleh mayoritas peserta, sampai ke maraknya pengaturan skor). Dalam hal ini saya setuju karena saat itu PSSI ingin melibatkan semua klub baik dari mantan peserta LPI (yang akhirnya bubar) maupun peserta ISL.

Pengelola kompetisi pun diminta untuk berbenah. PSSI menawarkan kepada PT Liga Indonesia (PT LI) untuk menjadi pengelola liga baru tersebut dengan syarat PT LI siap untuk diaudit oleh auditor publik sebagai bukti bahwa mereka siap untuk profesional. Sayangnya syarat ini ditolak mentah-mentah oleh PT LI (entah apa alasannya, walaupun bisa ditebak :p). Namun ketika PSSI menunjuk pengelola baru, PT LI sewot dan minta untuk PT baru tersebut diaudit. Hal yang mustahil dilakukan mengingat PT tersebut Belum lama berdiri. Apanya yang mau diaudit?

Untuk menentukan skala profesionalitas klub, PSSI melakukan verifikasi yang didampingi oleh AFC. Dari hasil verifikasi ini maka disusunlah daftar peserta kompetisi di berbagai kasta. Namun PSSI membuat blunder dengan menambahkan beberapa mantan peserta LPI ke kasta teratas. Hal ini menuai kecaman dari klub-klub ISL. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh rezim lama untuk membentuk KPSI. Selain itu juga PSSI membuat blunder dengan mengulang kesalahan era Nurdin Halid, tidak memakai pemain dari liga ilegal (bentukan KPSI, a.k.a ISL).

Setelah hampir setahun dari keputusan tersebut, pada akhirnya PSSI menyadari kekeliruannya dan mulai mencoba untuk menggunakan pemain dari ISL. Tak disangka, mereka yang sebelumnya protes karena tidak diperbolehkan membela timnas, tiba-tiba mlempem dan menolak masuk timnas. Pemain-pemain sekelas Ponaryo Astaman, Ahmad Bustomi, dsb beramai-ramai menolak panggilan timnas dengan alasan dilarang klub (padahal di seluruh belahan dunia manapun, yang namanya kontrak atlet olahraga harus ada klausul dimana klub HARUS melepas pemain ketika ada panggilan tim nasional dari negara asal pemain). Dari sini reaksi warga Kompasinana berbeda-beda. Ada yang langsung ngecap tidak nasionalis, ada pula yang mengira-ngira adakah ancaman yang bermain di sana. Bukan dari segi gaji dan dipecat, melainkan ancaman lain yang sulit dihindari. Kalau menurut saya sih, memang tidak bisa digebyah uyah bahwa mereka tidak nasionalis karena memang kemungkinan akan adanya ancaman itu cukup besar. Sama halnya dengan suporter timnas. Tidak semua suporter timnas punya duit lebih. Apabila ada orang Surabaya, gaji pas-pasan, ada tanggungan anak yang harus dibelikan susu, lantas wajib menggunakan uang susu anaknya untuk membeli tiket kereta + stadion GBK? Tentu tidak kan. Itu baru dari Surabaya. Yang dari Papua bagaimana? Jadi yang namanya nasionalisme itu hanya ada di hati dan hanya orang tersebut yang merasa dia nasionalis atau tidak. Ga perlu lah dicap ini-itu.

Pihak pengelola klub ISL pun tetap pada pendirian untuk melarang pemain bergabung dengan timnas. Sebagai contoh adalah Persisam yang menyatakan bahwa Persisam siap melepas pemain .... asal ... (loh, kok pakai asal?) ... asal panggilan tersebut dari KONI. Nah loh. Mana ada aturannya KONI membentuk tim nasional? Coba tanya ke organisasi cabang lain, pernahkah KONI membentuk timnas bulutangkis melangkahi PBSI? Pernahkah KONI membentuk timnas bola basket melangkahi PERBASI? Tidak. Karena memang itu ada aturannya. Dan KONI tidak bisa melanggar aturan tersebut kecuali mau ikut-ikutan kisruh. Intinya, mereka tau hal itu tidak akan terjadi dan otomatis mereka tidak perlu melepas pemain. Terlihat manis namun busuk di dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline