Lihat ke Halaman Asli

kurniyawati

Honorer di Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Bangka

Ketika Langit Tak Lagi Tnggi

Diperbarui: 26 September 2019   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mata nya terpaku memandangi 2 tangkai Mawar di pot putih diteras rumah.  Duduk diam dikursi santai jati yang tidak lagi cerah warnanya.  Rambut putih sebahu nya ia biarkan begitu saja tanpa penutup kepala yang biasanya ia pakai. 

Hari ini bunga Mawar itu mekar dengan gagahnya seolah ingin menampakkan keindahannya. Namun tidak dengan hati nya yang seperti tak merasakan apa pun juga setelah peristiwa memilukan beberapa waktu yang lalu. Ditambah dengan datangnya waktu pensiun yang begitu cepat ia rasakan. Padahal dengan bekerja itu lah dia dapat mengobati dan melupakan  luka yang satu persatu menganga memenuhi ruang dihatinya.  Belum selesai dia mengobati satu luka, timbul luka lain yang seolah luka-luka itu enggan pergi dari nya. 

Kematian Sang Putra karena penyebab yang tak pernah dia bayangkan sama sekali menyisakan luka yang sangat dalam. Ia merasa seakan-akan seluruh mata memandang ke arahnya dengan beribu pertanyaan yang menunggu jawaban darinya. "memalukan", bentaknya dalam hati.  

Namun dia tak sanggup untuk sekedar memiliki rasa marah apalagi membenci putra kesayangannya itu. Putra yang selalu dia bangga-banggakan didepan semua orang.  Yang selalu dia puji tanpa cela sedikitpun dimatanya.  Kini putra kesayangannya itu hanya meninggalkan bekas luka dan rasa malu di dada nya, walaupun dia bisa menyembunyikan semua itu. Hanya saja dia tidak sanggup harus menghadapi setiap orang yang mempertanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi. 

Rasa egois dan tak mau dipersalahkan atas peristiwa yang menimpa putra  nya itu masih saja ada didirinya. "sudah ku sekolahkan, ku didik dengan baik masih saja mencoreng nama baik keluarga",bikin malu saja" gerutu nya. Namun segala kemarahannya itu tidak pernah dia utarakan kepada siapapun.  Hanya hatinya saja yang menjadi saksi setiap gerutu pedasnya.  Bahkan kepada suami nya sendiri tidak pernah dia utarakan. Dia pikir sang suami pasti tahu segala kegundahan hatinya. Lagian untuk apa pikirnya memberitahu suaminya.  Toh dari dulu semenjak suaminya selingkuh sampai kembali kerumah ini, dia tidak pernah lagi bicara dari hati ke hati. Begitu pun untuk membahas masalah dalam keluarga mereka terutama tentang anak -anak. Mereka hanya berbicara sekedarnya saja.  Ia merasa lemah karena masalah ini hingga tak mampu untuk membicarakannya sekali pun. 

Padahal dulu saat masih bekerja,  ia lah wanita paling perkasa,  semua orang patuh padanya. Namun lebih tepatnya takut kepadanya.  Ketakutan itulah yang menjadikan orang-orang itu patuh padanya.  Dia dengan mudah bisa mengendalikan setiap orang, bahkan sampai mampu mengancam mereka. Menjadi seorang kepala bidang disebuah kantor pemerintahan memberinya peluang untuk menunjukkan kekuasaannya pada bawahannya.  Sudah banyak yang merasa terzalimi oleh dirinya, oleh kesombongannya dan ia merasa sangat puas dengan semua itu. Tidak hanya itu, ia masih belum puas hanya dengan menjadi seorang kepala bidang.  Ia masih berharap memiliki jabatan yang lebih tinggi dari itu.  Tetapi dia menyadari bahwa ia tidak akan bisa mendapatkan hal itu.  Bukan cuma karena usianya tetapi lebih karena kesalahan-kesalahan masa lalu yang diperbuatnya. 

Menjadi seorang pegawai pemerintah yang telah berpengalaman selama puluhan tahun dan telah berpindah-pindah kantor dinas selama beberapa kali menjadi rekor tersendiri baginya.  Tidak ada yang betah menampungnya. Selalu saja ada bekas yang tidak mengenakkan yang ia tinggalkan disetiap tempat yang ia singgahi.  Namun ia tidak pernah merasa menyesal dan bersalah.  Itu bukan salahku, gumamnya dalam hati. "siapa suruh mereka tidak menuruti perintahku, "siapa mereka? "kalian tidak selevel denganku".  Itu lah yang kerap ia katakan jika ada yang coba membela diri atas apa yang dilakukannya terutama kepada bawahannya.  Sudah banyak yang tersakiti dan terzalimi namun ia pura-pura tidak tahu.  Dia tidak perduli atas apa yang mereka rasakan dan katakan tentang dirinya.  Ia hanya mementingkan perasaan dan kepuasan batinnya sendiri. 

Ia masih terpaku diteras.  Ada bulir-bulir kecil airmata perlahan jatuh diantara Mawar yang merekah yang seolah bergembira atas segala kebodohan yang ia lakukan selama ini. Kini dirinya tidak seperti dulu lagi. Tidak ada lagi kekuasaan yang bisa ia banggakan.  Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menjalani masa pensiun ini sampai akhir hayatnya. Sekarang hanya ada kesepian dan kehampaan dalam hatinya. Namun sampai kapan pun ia tidak akan pernah menyesali apapun yang ia lakukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline