Lihat ke Halaman Asli

Berharap dalam Kemarau

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perubahan musim adalah hal biasa dalam kehidupan kita di dunia. Namun, seiring jalannya waktu perubahan tersebut menjadi hal istimewa kadang menakutkan. Mengapa? Tentu kita masih ingat ketika terjadi angin puting beliung disertai hujan es dibeberapa wilayah di Indonesia atau kebakaran hebat hutan yang melanda saat musim kemarau. Sehingga akan muncul pertanyaan dalam hati kita yaitu harapan saat kemarau datang. Atau harapan saat musim hujan tiba. Apakah itu?

Saat kemarau tiba, tentu kita berharap datangnya musim hujan yang memberi harapan kehidupan yang lebih baik lagi. Namun saat musim hujan tiba, justru muncul harapan baru yang mengharap musim hujan segera berlalu karena takut datangnya banjir dan musibah lainnya yang datang menyertai. Jadi sebenarnya apa yang kita mau adalah bukan apa yang kita harapkan. Kenapa? Ternyata banyak orang yang kemauannya bukanlah harapannya. Tapi harapan yang timbul merupakan mau yang diinginkan. Contoh, ketika seorang ayah berharap anaknya menjadi dokter, itulah sebenarnya yang ayahnya mau. Atau ketika seorang ibu berharap anaknya menjadi guru, itulah sebenarnya yang sang ibu mau. Jadi apa sebenarnya berharap dalam kemarau?

Kemarau adalah musim yang jarang bahkan tidak dikunjungi hujan. Awan panas dan udara menyesakkan menghampiri setiap saat. Bahkan kebakaran hutan tak jarang dijumpai. Namun, bila kita renungkan hal tersebut merupakan simbol dalam kehidupan kita. Dimana 90% diri kita selalu diliputi oleh panasnya hawa nafsu kita untuk kuasai dunia. Dimana kita selalu terbakar oleh hasrat dunia yang tak kunjung padam. Sehingga wajar bila musim kemarau saat ini pun lama berkepanjangan sejalan dengan nafsu manusia yang terus membara hingga akhir masa. Hingga muncul harapan dalam kemarau yaitu datangnya hujan yang menyirami, sejuknya udara yang dihirup, suburnya tanaman sehingga indah pemandangan dan banyaknya kenikmatan lain yang tak terhitung. Tapi semua itu bila berlebihan menjadi bencana yang tak kunjung reda. Hujan yang terus turun akan jadi banjir yang terbendung. Udara yang sejuk bila berlebihan menjadi topan / puting beliung yang membahayakan. Hingga muncul harapan kapan ini berakhir. Benarkah???

Bila kita mau jujur, kita akan merasa sedikit nyaman bila musim hujan terus datang mengiringi kehidupan daripada kemarau yang menghampiri. Mengapa? Karena hakikatnya manusia mengharapkan kedamaian dalam hidupnya, walau sejuta nafsu membara dalam dirinya. Jadi tepatlah tulisan ini diberi judul "Berharap dalam kemarau", karena manusia selalu mengharapkan kedamaian dalam menjalani dan mencapai segala cita-cita dalam hidupnya. Mungkin bila ada kekerasan itu hanya semata-mata karena kondisi yang memaksanya. Wallahu'alam bi shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline