Lihat ke Halaman Asli

Efendik Kurniawan

Publish or Perish

Kelemahan Penerapan Sanksi Pencabutan Hak Politik

Diperbarui: 28 November 2022   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di dalam ilmu hukum pidana, asas legalitas formal, menjadi asas yang fundamental. Suatu asas bukanlah sebuah peraturan yang konkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku . Nilai-nilai yang terkandung didalam asas legalitas, terbagi menjadi empat. Pertama, Lex Praevia atau Non-Retroaktiv, bahwa ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, Lex Scripta, ketentuan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh berdasarkan hukum kebiasaan. Ketiga, Lex Certa, ketentuan hukum pidana jelas dan tegas. Keempat, Lex Stricta, ketentuan hukum pidana penafsirannya harus ketat, tidak diperkenankan dengan penafsiran analogi.

Dengan penjelasan nilai-nilai yang ada pada asas legalitas, terkait sanksi pencabutan hak politik (hak untuk dipilih sebagai Pejabat Publik) belum dicantumkan secara jelas dan tegas. Sanksi ini masih tercantum secara implisit didalam KUHPidana pada Pasal 10 huruf b, yakni pidana tambahan dengan pencabutan hak-hak tertentu. Sedangkan didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tercantum pada Pasal 18 ayat (1), yang tercantum hanya pencabutan hak hak tertentu tanpa penjelasan lebih lanjut.

Selanjutnya, sanksi ini masuk dalam ruang lingkup sanksi pidana tambahan. Jadi, penerapannya juga belum tegas dan jelas, tidak seperti pidana pokok, yang penerapannya selalu mengikuti norma yang dilanggar. Didalam sistem dua jalur (Double Track System) , dikenal dua bentuk sanksi yakni sanksi pidana (punishment) dan sanksi tindakan (treatment). Ide dasar dari kedua jenis sanksi ini yang melandasi perbedaannya. Sanksi pidana berfokus pada perbuatan salahnya, dan memberikan penderitaan atau pembalasan kepada pelakunya. Sedangkan sanksi tindakan, berfokus pada pelaku yang berbuat salah dan perlindungan masyarakat dengan pembinaan dan pengawasan. Jadi, melihat karakteristik dari sanksi pencabutan hak untuk dipilih sebagai Pejabat Publik, seharusnya masuk dalam ruang lingkup sanksi tindakan (treatment), bukan sanksi pidana tambahan.  

Kekurangan selanjutnya, ada pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang pada Pasal 7 ayat (2) huruf g, terjadi sebuah 'contradictio in terminis' didalam sebuah satu kalimat mengandung arti yang bertentangan. Dengan frasa "tidak pernah sebagai terpidana...." dengan frasa " bagi mantan terpidana...." dua frasa ini yang mengandung arti bertentangan. Frasa yang satu mengandung arti tidak pernah menjalani hukuman sama sekali dengan melalui Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sedangkan frasa yang kedua mengandung arti seseorang yang telah menjalani hukuman dengan syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik dapat mencalonkan menjadi Pejabat Publik kembali.

Penjelasan diatas, menurut hemat penulis yang menjadi kekurangan dari sanksi ini. Pertama, belum tercantum secara eksplisit pada aturan hukum umum (Lex General) KUHPidana, dan aturan hukum khususnya (Lex Specialist) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dengan jelas dan tegas memuat sanksi pencabutan hak untuk dipilih sebagai Pejabat Publik. Atau dengan kata lain, masih perlu interpretasi Majelis Hakim didalam penerapannya. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa tidak semua perkara korupsi, Majelis Hakim akan memberikan sanksi pencabutan hak untuk dipilih sebagai Pejabat Publik pada terdakwanya. Kedua, norma yang mengatur tentang syarat-syarat pencalonan Pejabat Publik terjadi contradictio in terminis, ini mengakibatkan kebingungan didalam praktek. Jika mereka yang menjadi panitia teliti dan cermat terhadap norma tersebut maka akan menerapkan pembatasan kepada seorang mantan terpidana, jika tidak, maka akan lewat begitu saja pendaftaran calon Pejabat Publik tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline