Lihat ke Halaman Asli

Efendik Kurniawan

Publish or Perish

Sisi Lain Perselingkuhan dari Aspek Hukum Pidana

Diperbarui: 18 November 2022   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Publik sering di media disuguhkan pemberitaan yang menyangkut perselingkuhan. Khususnya, yang telah dilakukan oleh sepasang suami-istri yang telah sama-sama menikah. Jelas, dari sudut pandang masyarakat hal ini sangat dicela, namun bagaimana dari aspek hukum pidana. Apakah hal tersebut dapat dipersoalkan?

Di dalam ilmu hukum pidana, tidak dikenal istilah perbuatan selingkuh, namun yang dikenal adalah perbuatan perzinahan. Sehingga, seseorang baru dapat diproses secara hukum, apabila pasangan selingkuh tersebut telah melakukan perbuatan perzinahan. Jika hal itu belum terjadi, hukum pidana tidak dapat intervensi.

Hal itu diatur di dalam Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Khusus terkait perzinahan diatur di dalam Pasal 284 KUHP. Di dalam Pasal 284 KUHP, juga dibedakan terkait karakteristik perzinahan yang dapat diberi sanksi hukum pidana dilihat dari subjek hukum yang melakukannya. Syarat-syaratnya sebagai berikut: Pertama, seorang pria yang telah menikah dan ketentuan Pasal 27 BW terikat padanya. Kedua, seorang wanita yang telah menikah. Ketiga, seorang pria yang turut serta melakukan zina, padahal diketahui yang turut bersalah (perempuan) telah nikah. Keempat, seorang wanita yang tidak nikah yang turut serta melakukan perbuatan itu padahal diketahui yang bersalah (pria) terikat Pasal 27 BW.

Maksud dari Pasal 27 BW terikat padanya adalah dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang sebagai istrinya dan seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya. Artinya, di dalam Pasal 27 BW ini berkaitan dengan agama dan keyakinan tertentu yang menganut konsep monogami.

Melihat pada ketentuan sebagaimana yang diuraikan di dalam Pasal 284 KUHP di atas, maka terdapat keterbatasan norma hukum pidana dalam menjangkau peristiwa perzinahan. Misalnya, seorang laki-laki yang telah menikah dengan tidak terikat Pasal 27 BW melakukan perzinahan dengan wanita yang belum menikah, maka tidak dapat dikenakan ketentuan Pasal 284 KUHP. Serta, apabila masing-masing antara pria dan wanita belum menikah telah melakukan perzinahan juga tidak dapat dikenakan Pasal 284 KUHP. Keadaan ini yang dari aspek kriminologi ada hal yang kurang di dalam hukum pidana. Mengingat, dari aspek kriminologi, perbuatan tersebut sama-sama dicelanya oleh masyarakat, namun oleh hukum pidana terdapat perbedaan di dalam penegakan hukumnya (in abstracto).

Dengan demikian, apabila terdapat orang yang hendak melakukan laporan (aduan) apabila terjadi perselingkuhan, yang dapat melakukan aduan yaitu suami/istri yang tercemar. Orang lain selain suami/istri tidak dapat mengadukan. Dalam ilmu hukum pidana, ketentuan ini disebut sebagai delik aduan absolut. Maksudnya adalah kewenangan penuh untuk melakukan penegakan hukum pidana terhadap peristiwa itu, diserahkan sepenuhnya kepada suami/istri yang tercemar tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline