Lihat ke Halaman Asli

Efendik Kurniawan

Publish or Perish

OTT dan Pertanyaan terhadap Komitmen KPK

Diperbarui: 16 November 2022   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hampir bersamaan. Kalimat itu yang dapat diungkapkan secara langsung melihat tindakan hukum yang dilakukan oleh KPK kemarin. Ya, tindakan hukum yang dimaksud adalah 'OTT' dan 'Penjatuhan Sanksi Etik'. Menariknya, dua tindakan hukum KPK itu bertolak-belakang dari perspektif 'semangat pemberantasan korupsi'. Maksud dari bertolak-belakang ialah tindakan hukum yang pertama menumbuhkan rasa 'optimis' dan yang kedua menumbuhkan rasa 'pesimis'.
OTT dan Rasa Optimis

KPK kembali melakukan upaya penindakan dalam pemberantasan korupsi. Setelah sekian lama, KPK disibukkan dengan polemik Tes TWK. OTT kali ini berhasil menangkap tindak pidana korupsi yang terjadi di daerah. Ya, daerah Probolinggo. Bukan menjadi hal baru di negeri ini, bahwa persoalan jabatan dapat dikorupsi. Istilahnya, jual-beli jabatan. Terdapat keadaan tambahan yang juga buat masyarkata 'geleng-geleng'. Ya, suami-istri kompak melakukan kejahatan ini.

Dari perspektif hukum pidana, dugaan terhadap pasal sangkaan atas perbuatan yang terjadi, adalah tindak pidana penyuapan. Ya, jika disangka dengan tindak pidana penyuapan, maka antara 'Pemberi Suap' dan 'Penerima Suap' dapat dimintai pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Kabar terakhir, KPK sudah menetapkan sebanyak 22 orang menjadi Tersangka. Lima Tersangka sudah ditahan, selebihnya diminta KPK bersifat kooperatif.

Kejahatan korupsi ini kembali menegaskan bahwa 'korupsi dinasti politik' di negeri ini sudah menjadi penyakit. Tak dapat dibayangkan, apa yang ada di dalam benak pelaku (suami-istri) itu. Sang Suami sudah pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo periode 2003-2008 dan 2008-2013, selanjutnya menjadi Anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024. Sedangkan, sang Istri menjabat Bupati Probolinggo periode 2013-2018 dan 2019-2024. Hal yang tak dapat dibayangkan dan mengganggu fikiran masyarakat adalah apakah korupsi (jual-beli jabatan) berlangsung selama itu?

Tetapi, masyarakat dalam hal ini patut apresiasi kepada KPK. Dinasti Politik yang sudah dibangun selama 18 Tahun itu, runtuh dalam waktu sekejak oleh OTT!. Ya, ada adagium dari hukum pidana, bahwa hukum pidana itu bagaikan 'pedang bermata dua'. Artinya, di satu sisi hukum pidana ingin menegakkan norma-normanya, tetapi di sisi lain hukum pidana dapat menjatuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Saat ini, harkat dan martabat para pejabat itu sedang hancur oleh perbuatan mereka sendiri. Dahulu kala mereka masih menjabat, mereka sangat dihormati, dihargai, kemana-mana dijamu oleh masyarakat, tetapi sekarang keadaan itu berubah. Ya, mereka dicela, dicaci, bahkan dihina oleh masyarakat. Dapat dikatakan, keadaan yang tidak mengenakkan. Bahkan, yang merasakan keadaan yang tidak mengenakkan itu, tidak hanya pelaku. Pasti, keluarga pelaku, kerabat pelaku, dan orang-orang terdekat pelaku. Dengan kata lain, hukum pidana itu bagaikan mengiris daging sendiri. Sangatlah kejam.

Stigma masyarakat yang ditimbulkan oleh hukum pidana ini tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini juga dapat disebut sanksi dari perspektif kriminologi. Ya, sanksi ini lebih kejam sesungguhnya dari sanksi hukum pidana melalui Putusan Majelis Hakim. Seperti pertimbangan hukum Hakim dalam perkara Juliari Batubara kemarin.
 
Sanksi Etik dan Rasa Pesimis
Rasa optimis dalam pemberantasan korupsi itu, ternyata berbanding terbalik dengan penerapan sanksi etik terhadap Lili Pantauli Siregar (Komisioner KPK). Sanksi ini dijatuhkan karena yang bersangkutan telah terbukti berkomunikasi dengan pihak yang tengah berperkara. Komunikasi itu dilakukan oleh Lili Pantauli untuk menyelesaikan persoalan kepegawaian adik iparnya dan berusaha menghubungi M Syahrial, yang tidak lain dan tidak bukan adalah tersangka dalam kasus dugaan suap penerima hadiah atau janji di wilayah Pemkot Tanjungbalai.

Dewan Pengawas KPK dalam konteks ini 'hanya' menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan. Sanksi ini dirasakan sangat aneh oleh masyarakat umum dan para pakar. Mengingat, perbuatan yang dilakukan oleh Komisioner ini sangat tercela dan tidak etis, dalam konteks dia saat ini menjabat sebagai Komisioner KPK.

Dikatakan aneh, karena cukup ringan penerapan sanksi itu. Padahal di dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 juga mengatur sanksi berupa 'diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Pimpinan'. Artinya, norma hukum positif dalam hal ini PerDewas KPK itu menyediakan ruang untuk menegakkan sanksi itu. Pada titik ini nilai Dewan Pengawas terhadap komitmen itu diuji.

Persoalan lainnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh Komisioner KPK itu sesungguhnya tidak hanya melanggar 'kode etik', tetapi lebih pada pelanggaran 'etika'. Ada perbedaan antara kode etik dengan etika. Jika pelanggaran kode etik, maka itu hanya dapat dirasakan oleh 'orang-orang internal' dan yang bisa mengetahui dan merasakan hanya orang-orang internal. Akan berbeda jika itu melanggar etika, masyarakat umum dapat menilai bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang 'tidak etis'. Menilainya dengan menggunakan pisau 'nilai-nilai' di masyarakat terhadap perbuatan itu, 'pantas atau tidak pantas'.

Dengan kata lain, perwujudan sanksi itu juga harus menjadi pertimbangan bahwa perbuatan itu tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga melanggar etika. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline