Putusan Mahkamah Konstitusi terkait "Uji Formil UU Cipta Kerja" menarik perhatian publik. Khususnya pemerhati di bidang hukum dan ketenagakerjaan. Ya, betapa tidak. Menjadi sejarah dalam perjalanan Mahkamah Konstitusi ini, sejak berdiri tahun 2003. Baru pertama kali ini uji formil dikabulkan. Pengujian terkait cara dan metode pembentukan undang-undang itu, menjadi titik sentral dalam uji formil ini.
Putusan MK
Dalam konteks Putusan MK ini yang pada pokoknya menyatakan bahwa : Pertama, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Kedua, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 (dua) tahun. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja inkonstitusional permanen. Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Pertimbangan Hakim MK memutus uji formil ini yaitu : Pertama, metode omnibus law tidak dapat digunakan selama belum diadopsi atau dinormatifkan di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kedua, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden. Ketiga, bertentangan dengan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Atas dasar pertimbangan Hakim MK di atas, dapat dilihat bahwa MK secara implisit juga memberikan pedoman langkah-langkah apa yang harus dilakukan pembuat undang-undang untuk menyikapi Putusan MK ini, dalam hal ini "mengubah wajah UU Cipta Kerja" itu. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan cara mengadopsi atau menormatifkan konsepsi omnibus law itu menjadi hukum positif. Hal ini akan berimplikasi positif untuk ke depannya. Mengingat, juga terdapat undang-undang lain juga yang menggunakan metode omnibus law, yakni UU Harmonisasi Perpajakan. Langkah kedua yaitu pembentukan UU Cipta Kerja dan materi muatannya tidak bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Serta, Naskah Akademik dan Partisipasi Publik dilakukan dengan kajian-kajian yang matang dan sesuai proses dan prosedur yang telah ditentukan. Langkah ketiga atau terakhir yaitu jika sudah terjadi persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, jangan sampai terjadi lagi perubahan-perubahan secara "sembunyi-sembunyi" itu. Hal ini juga menimbulkan "kecurigaan publik". Ya, terdapat pertanyaan, "mengapa ada perubahan pasca persetujuan?".
Keadilan versi Socrates
Hakim MK tidak serta merta menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja ini inkonstitusional permanen, tetapi "inkonstitusional bersyarat". Maksud dari inkonstitusional bersyarat itu adalah jikan syarat-syarat khusus yang sudah diberikan itu tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan inkonstitusional permanen. "bersyarat" dalam Putusan MK ini yaitu pembuat undang-undang diberi waktu selama 2 (dua) tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja ini.
Itu artinya, Hakim MK masih memberikan ruang pemaafan kepada pembuat undang-undang. Pertimbangan hukum lainnya adalah UU Cipta Kerja ini dibentuk dengan pertimbangan terdapat "obesitas regulasi" serta untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di Indonesia. Artinya, terdapat tujuan strategis dalam UU Cipta Kerja ini yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Dalam konteks ini Hakim MK telah mewujudkan keadilan titik tengah dalam putusan perkara a quo. Artinya, MK memposisikan diri berada di tengah-tengah kepentingan Pemerintah dan Masyarakat. Tidak condong kepada kepentingan pemerintah maupun ke masyarakat.
Terdapat beberapa alasan untuk menguatkan pernyataan di atas, pertama, Hakim MK memahami bahwa karena negara ini adalah negara hukum, maka segala perbuatan penguasa (termasuk pembuat undang-undang) harus didasarkan pada hukum. Metode omnibus law yang belum diadapsi di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah negara hukum.
Kedua, Hakim MK memberikan tenggang waktu kepada pembuat undang-undang untuk memperbaiki "hasil kerjanya" selama ini dengan memperhatikan segala aspek hukum yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim MK dalam putusan perkara a quo.