Lihat ke Halaman Asli

Efendik Kurniawan

Publish or Perish

Sisi Ketidakadilan Prostitusi Online

Diperbarui: 12 Februari 2019   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lakukan sekarang, sebelum mereka (Pemerintah + DPR) mengesahkan Undang-Undang yang melarangnya.

Kita semua terhenyak, saat kemarin penggerebekan yang dilakukan oleh jajaran Penyidik Polda Jatim, mengungkap sebuah kasus prostitusi online dengan menyeret beberapa nama artis dan model. Artis yang terseret dalam dunia hitam prostitusi online tersebut, membuktikan bahwa kejahatan prostitusi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat ekonomi ke bawah, tetapi ekonomi menengah ke atas pun, masih melakukan kejahatan tersebut.

 Penyidik Polda Jatim juga mengungkap tarif artis dan model tersebut, sebesar 80 Jt dan 25 Jt. Suatu tarif yang sangat mencengangkan oleh sebagian umum masyarakat, yang hanya diberikan untuk sebuah kenikmatan sesaat saja. Konon katanya, dilakukan oleh seorang Pengusaha berinisial R. Hal ini semakin menegaskan bahwa kejahatan prostitusi, tidak memandang manusia secara ekonomi ke bawah saja yang melakukan, tetapi juga manusia secara ekonomi sudah mapan, masih melakukannya. Bahkan sejatinya, perbuatan tersebut dapat dilakukan secara gratis, tetapi mereka (pemakai jasa pelacur) mau membayar lebih supaya bisa melakukannya.

Di dalam ruang lingkup Kriminologi, istilah yang dipakai ialah Pelacuran. Menurut Bonger, Pelacuran ialah gejala kemasyarakatan, dimana seorang wanita menjual kehormatan dirinya untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan motif ekonomi atau sebagai mata pencaharian nafkah. Dari pengertian tersebut didapat dua unsur esensial dalam pelacuran, yakni motif ekonomi (prostitutie) dan unsur yang kedua bersifat mata pencaharian nafkah (beroespmatig). Tanpa kedua unsur ini, maka peristiwa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai 'Pelacuran'.

Secara hukum positif di Indonesia, kejahatan prostitusi diatur oleh UU No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Pasal 2 UU PTPPO), Pasal 296 KUHP, dan Pasal 506 KUHP. Ketiga norma tersebut, jika dicermati unsur-unsur deliknya hanya bisa menjerat para mucikari, tidak dapat menjerat pelacurnya serta para pemakai jasa pelacurnya. Disinilah letak sisi ketidakadilan dalam penegakan hukum kejahatan prostitusi. Sedangkan, Pelacur dan Pemakai Jasa Pelacur disebut sebagai Korban dan/atau Saksi.

Jika merujuk pada definisi Korban dalam UU PTPPO ialah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (vide Pasal 1 angka 3 UU PTPPO). Dengan demikian, seseorang yang dengan sengaja dan tanpa ada unsur paksaan menjual kehormatan dirinya untuk melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan keuntungan (motif ekonomi), tidak sepantasnya ia disebut sebagai korban. Suatu hal yang ironis di dalam penegakan hukum, jika yang demikian dikategorikan sebagai korban.

Tetapi sampai saat ini, kenyataanya demikian, hukum positif kita belum mampu menjerat pelacur dan pengguna jasa pelacur, untuk dapat dikategorikan sebagai 'Pelaku Tindak Pidana'. Hal ini yang menjadikan celah hukum bagi kejahatan prostitusi masih marak di masyarakat. 

Lebih gawat lagi, kejahatan tersebut sudah menggunakan media online, sebagai sarana untuk mencari pelanggan. Dengan demikian, menjadi sebuah peruntungan bagi pelacur dan pengguna jasa pelacur, jika tidak tertangkap, maka keberuntungan ada pada pihak mereka, tetapi jika tertangkap mereka berdalih sebagai korban dan/atau saksi.

Jika melihat konstruksi peristiwanya, kejahatan prostitusi ini dapat terjadi, karena ada hubungan antara pelacur dan pengguna jasa pelacur. Tidak mungkin suatu mucikari bertindak tanpa ada pelacur dan pengguna jasa pelacur. Dengan demikian, kejahatan prostitusi dikatakan terpenuhi karena ada pelacur, mucikari, dan pengguna jasa pelacur. Bahkan tanpa lewat jasa mucikari, sebenarnya kejahatan ini juga dapat terjadi. 

Dengan cara pelacur langsung berkomunikasi dengan pelanggannya dan menetapkan tarifnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kejahatan prostitusi ini dapat dikategorikan sebagai 'Kejahatan tanpa Korban'. Karena sejatinya mereka bukan korban, tetapi Pelanggan.   

Dalam konteks demikian, menjawab sisi ketidakadilan tersebut, Pemerintah bersama DPR harus hadir sebagai wakil dari negara untuk menjaga nilai-nilai keseimbangan dari masyarakat yang terganggu akibat kejahatan prostitusi, yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan pelacur dan pengguna jasa pelacur sebagai Tindak Pidana, sehingga kedua subjek hukum tersebut bisa disebut sebagai Pelaku Tindak Pidana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline