Lihat ke Halaman Asli

Cerita Jelang Lebaran: Malam Tumbilotohe

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_129447" align="alignright" width="300" caption="Semarak Malam Tumbilotohe"][/caption] Sejak kecil di Gorontalo, cerita malam lebaran tidak lepas dari kegemerlapan Malam Tumbilotohe yang artinya Malam Pasang Lampu. Tradisi Malam Tumbilotohe diadakan setiap tiga hari jelang lebaran Idul Fitri atau dimulai pada malam Ramadhan ke-27 hingga malam ke-29 atau malam ke-30. Pada tiga malam berturut-turut, secara spontan warga muslim Gorontalo sebanyak 157.074 jiwa (data 2008) memasang lampu minyak berderet di halaman rumah masing-masing sepanjang jalan. Bahkan lampu minyak itu dipasang hingga di pepohonan sehingga terlihat pepohonan itu penuh aneka warna dan meriah.

Tradisi Malam Pasang Lampu dimulai sejak Abad XV ketika warga Gorontalo masih menggunakan wango-wango sebagai alat penerangan. Wango-wango terbuat dari seludang yang dihaluskan dan diruncingkan baru dibakar. Perkembangan berikutnya berubah menggunakan damar (tohetutu) yang mampu menghasilkan nyala api relatif lama dari getah padat. Selanjutnya beralih menggunakan minyak kelapa dengan kapas sebagai sumbunya, sementara wadahnya memakai kima. Pun dikenal Padamala yakni lampu minyak kelapa yang bahan bakarnya air yang diberi pewarna.

[caption id="attachment_129453" align="alignleft" width="150" caption="Panorama Malam Tumbilotohe"][/caption] Bisa dimengerti sejarahnya karena saat itu belum dikenal alat penerangan modern berupa listrik. Sebelum dikenal alat penerangan listrik, warga muslim Gorontalo selama berabad-abad menghidupkan malam-malam akhir Ramadhan dengan kegiatan ibadah shalat lail mengharapkan datangnya malam lailatul qadar dan juga penyerahan zakat fitrah pada malam hari sehingga memerlukan alat penerangan. Alat penerangan tradisional warga Gorontalo dari abad kea bad mulai dari damar, getah pohon hingga lampu minyak.

Meski kini alat penerangan berupa listrik sudah dikenal, warga Gorontalo tetap menghidupkan Malam Tumbilotohe dengan menggunakan lampu minyak yang dipasangi sumbu kompor. Lampu minyak dalam jumlah yang banyak dipasang di Alikusu, semacam kerangka pintu gerbang khas Gorontalo. Sedangkan warga yang berdiam dipesisir memeriahkan Malam Tumbilotohe dengan memasang lampu-lampu diatas perahu yang disebut Tumbilotohe Tobulotu. Biasanya lampu-lampu dibentuk bergambar masjid atau ucapan selamat Idul Fitri.

Malam Tumbilotohe mengandung muatan reliji yang kental. Sebagaimana sering dijelaskan para ulama bahwa malam Lailatul Qadr turun pada 10 malam terakhir Ramadhan maka Malam Tumbilotohe diharapkan untuk mendapatkan berkah dimalam Lailatul Qadr pada tiga malam terakhir Ramadhan. Ketika akan memasang lampu, masyarakat Gorontalo biasanya membaca Surat Al-Qadr untuk menyambut malam Lailatur Qadr. Sementara dikalangan Islam Tradisional menyebutkan empat nama Khulafaurrasyidin secara berurutan sebelum membaca surat al-Qadr.

[caption id="attachment_129450" align="alignright" width="500" caption="Kontestan Pilkada kampanye di Malam Tumbilotohe"][/caption] Kemeriahan Malam Tumbilotohe kemudian tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2007. MURI mencatat sebagai rekor penyalaan lampu minyak terbanyak sekitar 5 juta lampu botol di Gorontalo. Rekor tersebut tidak lepas dari peran pemerintah setempat yang menjadikannya ajang lomba sehingga setiap desa berlomba-lomba memeriahkan Malam Tumbilotohe sekreatif dan semeriah mungkin. Sayangnya, Malam Tumbilotohe yang sarat nuansa relijius mulai ditulari nuansa politik ketika salah satu kontestan pilkada calon gubernur dan gubernur ikut-ikutan memasang namanya pada sebuah tanah kosong di Tanggidaa, Gorontalo.

Inilah cerita lebaran dari Gorontalo yang tak pernah lekang dari ingatan. Malam bernuansa reliji menuju Hari Kemenangan bagi Umat Muslim. Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline