Satu hari selepas Hari Raya Galungan biasa disebut dengan Umanis Galungan. Umanis Galungan dirayakan oleh seluruh Umat Hindu yang tepatnya pada hari Wraspati (Kamis) Umanis wuku Dungulan. Masyarakat Umat Hindu biasanya merayakan Umanis Galungan dengan cara melakukan berbagai aktivitas, seperti contohnya yaitu mengunjungi rumah sanak keluarga untuk menjalin silaturahmi, melukat, dan adapun yang mengunjungi berbagai tempat wisata.
Pada saat merayakan Umanis Galungan tidak hanya melakukan aktivitas secara sekala, seperti mengunjungi rumah sanak keluarga untuk menjalin silaturahmi ataupun berkunjung ke berbagai tempat wisata. Adapun aktivitas secara niskala yang harus diimbangi saat perayaan Umanis Galungan. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika.
Beliau mengatakan "Umanis Galungan kita mengucapkan rasa angayubagia dengan cara bersenang--senang seperti bersilahturahmi. Itu merupakan wujud rasa bahagia kita selepas merayakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma dengan mengunjungi keluarga, saudara, tetangga, dan diakhiri dengan melakukan persembahyangan ke Pura Kawitan atau Pedarman. Hal itu harus dilaksanakan"
Jadi, saat Umanis Galungan bukan hanya dilakukan dengan bersenang--senang secara niskala, tetapi juga perlu diseimbangkan atau harmonisasi antara religious dan juga spiritual sekala maupun niskala. Selain itu, arti dari ngiring melancaran saat Umanis Galungan bukan hanya berarti bersenang--senang saja.
Beliau juga menambahkan "Point dari merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma, yaitu merasa angayubagia, terbebas dari segala pengaruh Sang Tiga Buta, Tri Mala, Sad Ripu, Sapta Timira, serta Dasa Mala di dalam kehidupan sehari--hari"
Dalam hal tersebut terdapat adanya konsep Tri Semaya yaitu kemarin, sekarang dan hari esok. Kemarin berarti saat merayakan Hari Raya Galungan yang merupakan hari kemenangan dari Dharma melawan Adharma. Secara harafiah Galungan berasal dari kata "galung" yang memiliki arti "menang", "ngegalung" memilikia arti "merayakan kemenangan", dan "galungan" memiliki arti "kemenangan".
Adharma itu merupakan awidya dan kita kemarin telah menang dari adharma. Kita merayakannya secara ritual yaitu dengan nanceb penjor sebagai wujud dari rasa syukur kita atas kemakmuran. Serta disaat hari penampahan galungan, kita sudah membunuh berbagai sifat awidya dan menghindarkan diri kita dari Sang Tiga Bhuta.
Saat Hari Raya Galungan kita mengawali kegiatan dengan persembahyangan di rumah, yaitu sembahyang di sanggah panegtegan, pakamulan, setelah itu di sanggah I bapa atau yang dibuat oleh orang tua, lalu bersembahyang di pemaksan, dadia, panti dan selanjutnya bersembahyang ke Pura di desa pakraman.
Selanjutnya setelah merayakan Hari Raya Galungan yaitu dirayakannya Umanis Galungan. Makna dari Umanis Galungan kini sudah banyak yang bergerser, sehingga Umanis Galungan tersebut diartikan dengan jalan--jalan ke berbagai tempat wisata. Tetapi hal itu baru aktivitas sekala, maka harus diseimbangkan dengan aktivitas niskala yaitu dengan cara melakukan persembahyangan di Pura Kawitan.
Selain itu, pada hari Umanis Galungan terdapat Umat Hindu yang melakukan upacara natab sesayut dimana upacara tersebut dilakukan oleh seorang anak yang belum meketus (tanggal gigi) tetapi tidak menutup kemungkinan juga jika orang yang sudah dewasa juga mengikuti upacara natab tersebut. Adapun tujuan dari dilaksanakannya upacara natab tersebut, yaitu untuk mengembalikan energi positif yang terdapat dalam diri kita agar tetap optimal dan bersemangat dalam menghadapi segala aktivitas sehari--hari dengan pikiran yang positif.
Selesai dari upacara natab sesayut tersebut biasanya dilanjutkan dengan bersilahturahmi ke rumah sanak keluarga agar mempererat hubungan keluarga ataupun jalan--jalan ke berbagai tempat wisata bersama keluarga, sahabat, teman, maupun pacar. Sehingga berbagai tempat wisata pun diserbu oleh para wisatawan lokal yang sedang berlibur hari raya, seperti tempat wisata yang pertama yaitu Objek Wisata Sangeh di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal.