NAMAKU Chun Yin. Seorang gadis tinggal di pesisir pantai Pulau Belitung. Sejak aku menikah dan punya seorang anak, sesuai kebiasaan di Belitung, orang-orang pun memanggilku, Nyonya.
Suamiku seorang nelayan. Di kala senja, ia pergi melaut dan pulang fajar menjelang. Tinggallah aku dan anak lelakiku bernama Alung di rumah ketika malam. Umur Alung enam tahun.
Semenjak kecil, rambutku selalu panjang mengikuti tradisi ibu yang berambut panjang. Pakaian pun mengikuti tradisi ibu, kebaya dan kain sarung. Pakaian etnis Tionghoa tahun enam puluhan dan tujuh puluhan di Pulau Belitung.
Karena rambut aku tak pernah dipotong semenjak kecil. Maka rambutku panjang melewati pundak. Panjang dan lurus. Aku sangat sayang rambutku. Aku dan rambutku bak punya jiwa yang menyatu. Lantas, para tetangga sepanjang pesisir pantai menjulukiku, Nyonya Berambut Panjang.
Di pesisir pantai tempat kami tinggal, penduduknya hidup damai, tenteram, sederhana, akrab dan saling mengenal. Hampir semuanya nelayan.
Ketika malam tiba, suami-suami mereka pergi ke laut menangkap ikan. Fajar menjelang, mereka pulang. Maka tatkala malam, kampung kami sepi dan sunyi.
Pada suatu malam di bawah bulan purnama, ketika suami melaut. Aku tak melihat anakku Alung di rumah. Mulanya, aku kira ia bermain di kamar. Aku memanggil-manggilnya, tapi ia tidak menyahut.
Aku memanggil lagi:
"Alung....Alung....Alung" ia tidak tetap tidak menyahut.
Aku masuk ke kamar, ternyata ia tak ada di kamar. Aku cari di dapur, ia tak ada. Aku cari di selasar, ia tak ada. Hatiku mulai berdebar, dadaku mulai sesak.
Aku keluar rumah dan memanggil dengan suara sekeras-kerasnya: