Lihat ke Halaman Asli

Antara Tempat Parkir dan Hijaunya Daun Tanaman

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ini gambar saya sendiri

[caption id="" align="aligncenter" width="115" caption="ini gambar saya sendiri"][/caption] Saya menghadapi dilema. Saya ingin bagian depan rumah hijau oleh tanaman, tapi itu berarti mempersempit ruang parkir jika ada tamu datang. Rumah saya cukup besar untuk kumpul-kumpul, tapi terlalu sedikit ruang untuk parkir. Tanaman atau tempat parkir? Tempat parkir atau tanaman? Kemana saya harus berpihak, hijau daun atau kendaraan? Tentu saja harus ada kompromi, tapi kompromi seperti apa. Ngomong-ngomong soal lahan parkir, ada cerita yang saya dapat saat menghadiri pertemuan rukun tetangga. Di pinggir jalan besar yang masih satu RT dengan kami, ada toko baru dibuka. Salah satu warga mengusulkan pada ketua RT agar RT mengurus surat perizinan parkir. Harapannya agar hak untuk mengelola parkir di toko itu didapat oleh RT kami. Kalau ada rejeki biarlah dirasakan warga sendiri, daripada dikuasai orang lain. Siapa lagi kalau bukan pak RT yang maju mengurus segala tetek bengek perizinan. Toko itu tidak terlalu besar. Tidak kecil, tapi juga bukan toko besar. Bukan yang selalu ramai penuh oleh kendaraan. Drama terjadi di pertemuan warga yang kebetulan saya hadiri. Salah satu warga yang biasa berdagang dengan gerobag di dekat toko itu protes kepada pak RT. Izin lahan parkir sudah dikuasai pak RT tapi kok tidak ada uang yang masuk kas RT. “Urusan parkir ternyata tidak sesederhana itu,” berkali-kali pak RT berusaha membela diri dan menerangkan keadaan. Jadi setelah usulan itu dikemukakan, pak RT mengurus ke dinas. Kalau tidak salah dinas perhubungan. Izin hanya bisa diberikan pada perorangan. Tidak bisa pada RT. Jadi Pak RT mengatasnamakan dirinya sendiri. Ada dua permohonan izin yang masuk. Dari pak RT dan dari pemilik lahan parkir di sekitar toko itu. Setelah beberapa bulan, akhirnya diputuskan Pak RT yang mendapat izin. Tukang parkir yang berjaga punya kewajiban bulanan. Enam ratus ribu rupiah disetor ke dinas, satu juta dua ratus ribu disetor pada pak RT. Wuaaah, pak pedagang dengan gerobag semakin berapi-api. “Urusan parkir tidak sesederhana itu,” berkali-kali pak RT membela diri dan menenangkan keadaan. Ternyata Pak RT harus meminta bantuan. Urusan pak RT dan pemohon lainnya tak berhenti begitu saja. Jadi ia membayar empat ratus ribu rupiah tiap bulan kepada kenalannya, anggota brimob, demi keamanan. “Jadi  masih ada delapan ratus ribu to. Itu ke mana?” Wuaaah, suasana kembali memanas. Pak ustadz yang tampaknya lebih berkuasa dari pak RT menengahi. Pak RT berjanji akan menyetor lima puluh ribu rupiah tiap bulannya kepada kas RT. “Lha Pak RT tiap bulan enggak ngapa-ngapain sudah dapat delapan ratus ribu. Masak buat RT cuma lima puluh ribu?!?” Wuaaaah…semakin panas. “Anggap saja itu rejekinya Pak RT. Toh kita tidak tahu pas periode kepengurusan ini bakal ada toko baru dibuka,” lagi-lagi pak ustadz menengahi. Walah walah, ternyata memiliki hak atas lahan parkir itu menggiurkan sekali. Tidak ngapa-ngapain, cuma ongkang-ongkang dapat setoran terus. Itu baru cuma satu toko, bagaimana yang punya di larik-larik jalan, atau yang punya lahan sebesar alun-alun. Tidak heran kalau semua-semua dijadikan tempat parkir. Ya kalau lahan sendiri, tapi bagaimana dengan aspal di pinggir-pinggir jalan yang sebenarnya hak pengendara. Bagaimana dengan trotoar yang penuh kendaraan padahal sebenarnya hak pejalan. Atau seperti taman kota Yogyakarta yang dahulu ruang terbuka hijau namun kini rata dengan conblok. Tiap orang harus bepergian. Syukur kalau dekat bisa jalan kaki. Bagaimana kalau jauh. Selama ini ketika kita berbicara tentang musuh angkutan umum, kita hanya bicara tentang perusahaan otomotif. Atau bisa kita tambahkan pengusaha kredit kendaraan bermotor. Sepertinya kita perlu menambahkan satu lagi. Pengusaha parkir. Kalau semua orang bepergian dengan angkutan umum, tempat parkir tentu jadi sepi. Mosok to, yang biasanya ongkang-ongkang saja sudah bisa foya-foya, rela saja harus kerja buat cari makan. Saya sebagai pemilik rumah berhak memilih, apakah muka rumah saya diperuntukkan untuk tanaman atau kendaraan. Apakah saya, dan Anda, kita semua, sebagai warga kota, berhak memilih apakah sebuah lahan selayaknya untuk tempat parkir atau sebaiknya untuk ruang terbuka hijau? Yogyakarta, 16 Maret 2015 *di pemilihan RT kemarin, tampaknya pak pedagang dengan gerobag terpilih sebagai ketua RT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline