Lihat ke Halaman Asli

Kurnia PuspaDewi

Mahasiswa S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Mengenal Seni Pertunjukan Jathilan yang Mengandung Sejarah

Diperbarui: 9 Desember 2023   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyaknya pulau yang menjadikan Indonesia sebagai negara majemuk. Suatu perbedaan menjadikan Indonesia memiliki beragam budaya, kesenian, dan adat istiadat.  Kesenian sendiri merupakan baguan dari suatu budaya yang melekat pada diri masyarakat di suatu daerah, salah satu contoh kesenian tersebut adalah seni jathilan. Kesenian jathilan merupakah kesenian yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya. Kesenian jathilan juga dikenal dengan nama seni tari kuda lumping, jaran kepang, dan lainnya. Kesenian ini menggabungkan antara tarian dengan hal magis. Nama jathilan berasal dari kalimat bahasa Jawa yaitu "jarane jan thil-thilan tenan" yang dalam bahasa Indonesia berarti "kudanya benar-benar bergerak tidak beraturan". 

Bergerak tidak beraturan yang dimaksud adalah pada saat penari kuda lumping berjoget secara tidak terkendali karena kerasukan. Memang tidak ada cerita sejarah yang pasti ataupun tertulis mengenai kesenian jathilan tersebut. Namun banyak cerita yang terus-menerus dan turun-temurun terdengar di kalangan masyarakat yang kemudian diceritakan kembali kepada generasi berikutnya. Dari cerita-cerita yang beredar  diperoleh suatu keterangan bahwa kesenian jathilan merupakan sebuah kesenian yang mengisahkan seorang Raden Fatah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam melawan penjajah Belanda. Sebagaimana yang kita semua ketahui, Sunan Kalijaga merupakan seorang yang kental dengan budaya, tradisi dan kesenian sebagai sarana atau media pendekatan kepada rakyat pada masa itu, maka cerita  perjuangan kedua tokoh tersebut dituangkan dan digambarkan dalam bentuk seni tari jathilan.

Terdapat beberapa cerita dengan versi lain, yang menyampaikan bahwa kesenian ini menggambarkan kisah prajurit Mataram yang sedang mengadakan latihan perang di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono I untuk menghadapi penjajah Belanda. Cerita lainnya menyebutkan bahwa kesenian tersebut menggambarkan perjuangan Perang Jawa oleh  prajurit berkuda Pangeran Diponegoro, yang kemudian rakyat mendukung dengan properti  kuda tiruan yang terbuat dari bambu sebagai wujud apresiasi dan dukungan. Saat itu kesenian jathilan sudah sering dijadikan pementasan  di dusun-dusun kecil. Pementasan seni jathilan ini memiliki dua tujuan, yaitu sebagai sarana hiburan masyarakat dan sebagai media untuk mempersatukan masyarakat dalam menghadapi para penjajah atas segla bentuk penindasan. Sehingga yang dipentaskan dalam kesenian tersebut adalah para prajurit yang berpenampilan jaman kerajaan disertai gerakan tarian yang diiringi oleh gamelan serta nyanyian dari sinden. Pada awalnya, penari tampak menari dengan gagah dan luwes, namun seiring berjalannya waktu, para penari menjadi kerasukan roh. Dimana kondisi kerasukan tersebut dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah "ndadi". Karena kerasukan roh, para penari tidak sadar dengan gerakan dan perbuatannya. Gerakan tariannya tidak beraturan yang kemudian diistilahkan menjadi Jathilan (jarane jan thil-thilan tenan).

Instrumen yang tak kalah penting selain penari, perias, wiyaga atau penabuh gamelan adalah seorang pawang. Pawang adalah seseorang yang memiliki peran dan tanggungjawab yang mengendalikan jalannya sebuah keseian jathilan dan menyembuhkan para pemain yang kerasukan. Saat kerasukan (ndadi), para penari mampu melakukan adegan atau gerakan yang berbahaya yang sulit untuk dicerna oleh akal manusia biasa. Sebagai contoh adalah memakan beling, ayam mentah, kembang, menyan dan/ dupa. Ada bagian tarian saat berperang menggunakan properti pedang, atraksi ini sebenarnya bukan untuk memamerkan kekuatan atau kekebalan dan lainnya, melainkan sebagai sebuah gambaran bahwa rakyat biasa (non militer) juga memiliki kekuatan untuk melawan penjajah (musuh). Seiring berkembangnya zaman, ada dua pakem (jenis) kesenian jathilan yang ditampilkan, yaitu pakem acap klasik "jathilan pung jrol" dan pakem baru yang lebih dikenal dengan nama "jathilan kreasi baru". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline