Lihat ke Halaman Asli

Antara Komunikasi dan Raibnya Nyawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penerapan kaidah komunikasi yang benar sangat diperlukan dalam berkehidupan sehari-hari, tidak dapat dipungkiri manusia tidak dapat lepas dari kegiatan komunikasi sesuai kepentingannya masing-masing. Dalam implementasinya komunikasi membutuhkan dua unsur yang saling mendukung proses tersebut, salah satunya terdapat komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi namun sering kali terjadi kesalahan dalam mengolah pesan dari hasil proses komunikasi sendiri, selain itu kurangnya pemadatan atau kelengkapan pesan dapat berakibat salah persepsi dan mengakibatkan hal fatal yang dapat berujung pada konflik atau tindak kekerasan. Di Indonesia sendiri terdapat beraneka ragam suku etnis, maka dengan kata lain dapat dikatakan daerah rawan konflik dan perpecahan. Bayangkan saja wilayah luas dengan demografi dan adat yang berbeda antar daerah, membuat masyarakat mempunyai cara pandang atau kebiasaan yang berbeda. Proses komunikasi di indonesia berlangsung tidak hanya dalam satu suku atau kekerabatan, komunikasi dapat terjadi antar suku di indonesia sesuai kepentingan masing-masing.

Sering terjadi salah tafsir dalam menerima pesan menjadi akibat konflik yang berujung pada tindak kekerasan yang dapat merugikan ke dua belah pihak yang berkonflik, raibnya harta benda bahkan nyawa seseorang akibat konflik sudah menjadi hal yang biasa di indonesia, maka tidak heran apabila sering terjadi kesalahpahaman yangberujung pada konflik antar etnis, semua hal yang berkaitan dengan sukses atau tidaknya berlangsungnya proses komunikasi.

Konflik Sampit tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat indonesia karena jatuh korban yang cukup banyak dalam perselisihan antara suku kalimantan dan suku madura. Peran komunikasi memang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi harus di pahami dan di pelajari, keliatannya memang sepele dengan kata lain kecakapan dalam berkomunikasi merupakan bawaan lahir, maksudnya setiap orang otomatis dapat berkomunikasi dengan sesamamanusia tidak perlu di ajarkan, dengan sendirinya manusia akan berkomunikasi dengan sesama karena manusia membutuhkan orang lain. Menurut sumber dari Kompas secara kasat mata memang benar, akan tetapi dalam pembuktiannya masih nihil, berbagai kasus tindak kekerasan yangterjadi di indonesia akibat dari kesalahan persepsi dan tidak adanya komunikasi dalam pemecahan suatu masalah atau musyawarah masih sering kita jumpai. Kerusuhan ambon september kemarin menyisakan kisah tragis mengakibatkan dua orang meninggal dan enam puluh orang terluka. Konflik ini di latar belakangi oleh kesalah pahaman salah satu pihak yang bertikai,berawal dari kecelakaan yang menimpa Darfin Saimen salah satu warga yang kesehariannya bekerja sebagai tukang ojek.

Saimen meninggal dalam kecelakaan tersebut karena luka yang cukup parah akibat menabrak pohon dan sebuah rumah. Dalam perjalanan ke rumah sakit yang bersangkutan tidak tertolong karena luka yang cukup parah. Sementara itu, informasi yang di terima masyarakat mempunyai versi lain bahwa Saimen tewas akibat dipukuli massa kerena menabrak salah satu rumah warga. Terjadi mise comunication atau salah tafsir dalam peristiwa ini.

Kurangnya Perhatian Pemerintah

Seperti yang dilansir Kompas, upaya penghentian konflik di ambon dengan mengelar aksi damai pasca konfilk 1999-2003 ternyata hanya faktamorgana, dalam artian pemerintah menganggap daerah Maluku sudah aman terutama Ambon tanpa melakukan inspeksi atau pengawasan untuk menanggulangi apabila konflik kembali terjadi, justru pemerintah hanya sibuk dengan urusan pemberantasan korupsi yang tak kunjung selesai. Sepanjang tahun 2011 sudah terjadi dua kali konflik antar warga di Ambon. Fakta morgana, itu merupakan gambaran semu pemerintah dalam mengatasi konflik di Ambon. Peran pemerintah sebagai institusi negara dalam bertidak sebagai penengah atau mediator pihak-pihak yang bertikai sangat di perlukan. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengenalkan atau membangun sektor teknologi komunikasi saja, Selain itu pembelajaran tentang komunikasi jauh lebih penting kalau perlu buat kurikulum baru tentang komunikasi agar komunikasi dalam masyarakat dapat terjadi secara efektif atau tepat tujuan. Pada hakikatnya komunikasi sangatlah penting salah tafsir dapat menyebabkan atau kurangnya mediasi komunikasi dapat menghilangkan nyawa seseorang.

Penyebab konflik adalah informasi atau pesan yang disampaikan melewati berbagai agen informasi atau penyalur dengan berbagai karakter dan SDM yang berbeda sehingga informasi yang diperoleh warga sekitar tidak sama dengan informasi aslinya di tempat kejadian. Tanpa ada penyelidikan atau musyawarah sekelompok warga merasa tidak terima atas kematian Saimen dan menyerang kampung yang didugawarganya telah membunuh yang bersangkutan. Konflik pun tidak bisa terelakkan kedua belah pihak tidak hanya saling serang bahkan sampai membakar fasilitas dan perumahan warga.

Salah satu penelitian yang di berasal dari data Kompas (Hehanussa, Dermolukkenkonflikt von 1999 undie geselscaftliche Verantwortung der Kirche, 2011) upaya menghadirkan damai pascakonflik Maluku 1999-2003 belum sunggung-sungguh menyentuh budaya kekersan yang ada diMaluku. Inilah yang membuat penyelesaian konflik maluku belum benar-benar tuntas, sebagai mana konflik yang kembali terjadi di Maluku ditahun 2011, tegas Josef MN Henenussa. Proses komunikasi yang berlangsung tidak efektif, mengalami gangguan dalam penyampaian atau komunikan tidak dapat merespon simbol-simbol dari pesan dapat mengakibatkan kesalahan persepsi dalam menanggapi suatu peristiwa atau fenomena. Hal tersebut mengakibatkan perseteruan seperti yang terjadi di Maluku.

Langkah Mediasi

Konflik semacam ini sebenarnya dapat diredam dengan cara penyelidikan tentang bagaimana alur peristiwa itu terjadi yaitu seputar tewasnya Saimen atau dengan cara musyawarah untukmenyelesaikan masalah secara kekeluargaan untuk mencari titik temu dari suatu permasalahan yang di hadapi. Hal itu dilakukan semata-mata untuk meminilamisir terjadinya perpecahan baik satu etnis maupun beda etnis.

Bangun Tradisi baru

Orang maluku khususnya di kota Ambon memiliki budaya pemersatu yang di kenal dengan pela gandong sehingga mereka kurang memberi perhatian terhadap budaya kekerasan yang ada di ambon pada khusunya. pela gandong sendiri berfungsi sebagai peredam konflik namun kekurangannya pela gandong memiliki pengaruh yang kuat hanya di daerah yang memiliki ikatan pela gandong,. Padahal, konflik bisa saja terjadi antara kelompok masyarakat yang tak punya ikatan pela gandong. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Josef MN Hehanussa, masyarakat Ambon butuh tradisi baru yang menompang perwujudan budaya damai ketimbang melanggengkan budaya kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline