Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sastra

Koki Nasi Goreng

Prahara Kucing di Rumah Kami

Diperbarui: 25 Mei 2023   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pixabay.com/id/vectors/kucing-hewan-peliharaan-hewan-bunga-7122943/

Pada malam itu saya meninju kaca lemari di kamar kami sampai retak. Akhirnya kami tidak bisa melihat lagi diri kami yang baik di dalam cermin, kecuali diri yang cacat.

Menyadari istri saya yang jadi aneh, kadang saya berpikir bahwa saya telah hidup bersama sosok yang tidak saya kenal. Dia menjelma menjadi asing. Dan saya telah seranjang dengan orang asing itu, berbagi kasur, berbagi selimut bahkan tubuh, menggunakan satu sabun mandi yang sama, bahkan kadang-kadang saya memakai sikat giginya ketika suatu waktu sikat gigi saya hilang di kamar mandi mungkin dicuri tikus. 

Ingatan saya masih baik, seperti jernih air sungai yang membuat mata dengan mudah melihat batu-batu kecil di dasarnya, tempat bersembunyi bagi anak-anak ikan. Sehingga saya tidak akan bisa dikelabui oleh masa lalu: diseret pada kenangan-kenangan yang buram. Oleh sebab, saya tak ada masalah menceritakan kembali bagaimana petualangan asmara kami ketika masih pacaran, seandainya dia meminta saya melakukan itu, anggap saja sebagai pemulihan dirinya yang sakit.

Mula-mula saya akan mengingatkan kepadanya salah satu kunjungan saya di rumahnya pada hari Minggu.  Di teras, kami bersama, menikmati pesona bunga sedang mekar di taman depan rumah. Hari itu kami memang membicarakan bunga. Selain itu, saya juga menyinggung soal kucing. Beberapa kali kunjungan ke rumahnya, saya tidak melihat sosok kucing ada di sana.

"Apakah kamu tidak suka kucing?"

Katanya, tidak. Alasannya alergi bulu kucing. Lagi pula tak ada riwayat dalam keluarganya, merawat kucing. Baik itu saat masih tinggal bersama bapaknya sebelum cerai dengan ibunya.

Saya tidak mungkin keliru: dia yang saya kenal dulu adalah pecinta bunga yang tidak suka kucing. Maka terhenyaklah saya, ketika kami sudah menikah dan punya rumah sendiri, sepulang dari rumah ibunya ada seekor kucing di gendongannya.

Saya di teras sedang menikmati teh terharan-heran melihatnya berjalan memasuki pagar, sambil bermain-main dengan kucing itu. Lirih dia berbicara kepada kucing itu, tampak seperti kucing liar yang baru saja tersesat di dalam got. Dia mencium wajah kucing sebelum kakinya menyentuh undakan teras dan menyapa saya.

"Rumah kita tidak akan sepi lagi," katanya semringah, "Mulai sekarang kita akan merawat kucing ini. Sebagai penghibur masa-masa membosankan menunggu tangis anak yang tak kunjung terdengar di rumah kita. Kucing ini baiknya dianggap anak sendiri. Ada kaitannya dengan yang saya sampaikan kemarin."

Yang dia maksud adalah sebuah mitos dipercaya oleh masyarakat tradisional. Konon jika sepasang suami istri sukar mendapatkan anak padahal ingin sekali punya anak, maka salah satu usaha yang harus dilakukan adalah merawat anak orang, maksud saya bisa merawat anak-anak yatim piatu, anak kerabat yang memang sudah punya banyak anak dan kewalahan merawat anak yang banyak itu. Cara-cara itu dipercaya sebagai pemancing agar Tuhan berkenan menghadiahkan anak lahir dari rahim istri. Sudah banyak percobaan-percobaan macam begini berbuah hasil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline