Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sastra

Koki Nasi Goreng

Perang Mulut

Diperbarui: 21 Maret 2019   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.victorynews.id

Perempuan yang kutaksir usianya empat puluhan tahun, masuk ke dalam kamar. Dia mengambil posisi di dekat pintu masuk. Aku ikut duduk, mengambil jarak dengannya. Aku belum mengetahui tujuan kedatangannya. Dan aku tidak mengenalinya. Sebelumnya kami tidak pernah bertemu.

Dilelehkannya pandanganya pada seisi kamar yang sempit. Kamar yang sangat berantakan, alat-alat makan tergeletak begitu saja. Kasur belum digulung, selimut tampak awut-awutan. Bahkan aku belum membasuh wajah. Pintu kamar mandi terbuka lebar.

Ditanyailah aku tentang penghuni kamar sebelah. Dia lakil-aki paruh baya. Kami sudah berbulan-bulan bertetangga. Namun keakraban belum juga terjalin dengan baik. Dia sama cueknya dengan aku. Sesekali saja kami bertegur sapa. Misalnya Minggu pagi, bersamaan menjemur pakaian di depan kamar. Selebihnya ketika sore menunggu waktu magrib, di teras kamar kami akan saling menyapa. Tidak sering terjadi hal demikian. Waktu-waktu tertentu saja. Dia tahu aku bekerja sebagai sales di perusahaan kecil, dan aku tahu dia sebagai satpam di salah satu bank yang ada di kota ini.

"Benar kau pernah melihat perempuan menginap di kamarnya?" tatapan mata perempuan itu tajam padaku. Aku membenarkan akan hal itu. Memang kenyataannya ada perempuan yang kerap datang bertamu di kamarnya. Aku tipikal orang yang tidak suka berburuk sangka, aku berpikir positif saja mengenai kehadiran perempuan itu. Dugaanku adalah istrinya. 

Tapi perempuan yang sekarang berada di hadapanku, mengaku kalau dia adalah istri sah lelaki itu. Untuk membuatku semakin yakin, ditunjukkanlah padaku buku nikah dirogoh dari dalam tasnya. Aku percaya.

Aku tidak suka dihadapkan situasi seperti ini. Dia menekanku untuk memberitahu semua kebobrokan suaminya. Aku tidak tahu banyak selain kedekatannya dengan perempuan lain. Dalam seminggu ada dua sampai tiga malam perempuan itu datang padanya. Dia akan meninggalkan kamar ketika hari sudah pagi.

Tidak mungkin kututupi soal itu. Lagi pula ini bukan cerita yang kukarang sendiri. Kebenaran memang harus dinyatakan kendati itu pahit. Jadi aku tidak bermaksud untuk mencampuri permasalahan mereka. 

"Tenang saja, mengenai kesaksianmu tidak akan kuberitahu padanya. Maka katakanlah semua yang kau saksikan selama ini." Perkataannya membuatku semakin berani untuk menguaknya. Menghilangkan segala rasa ragu-raguku, yang semula menghalangiku untuk bicara.

"Tengah malam yang hening, pada malam perempuan itu datang. Ketika aku ke kamar mandi, kerap aku mendengar suara desahan," tuturku.

"Desahan?" Ia mengernyitkan dahi.

"Iya desahan. Desahan perempuan itu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline