Keributan pada malam tahlilan Nenek, berdampak Rida tak sering ke rumah lagi. Ia memilih tinggal di Makassar. Setahun sekali ia pulang, saat menjelang idul Fitri. Di situlah kuperhatikan keakraban Rida dengan Ayah ataupun Ibu tidak seperti dulu sebelum Rida memutuskan untuk bercadar.
Di keluarga besar kami, baik dari Ayah ataupun Ibu tidak seorang pun bercadar. Dan, keputusan Rida untuk mengenakan itu adalah orang pertama di keluarga kami.
Aku benar-benar tidak mengerti polemik bercadar. Mengapa ayah bersikeras menentang Rida? Dan mengapa Rida bersikukuh mempertahankannya? Tentu mereka punya alasan masing-masing. Pertanyaan itu hanya bisa mengawang dalam pikiranku. Tanpa berani mencari tahu jawabannya. Atau meminta pada Ayah, Ibu ataupun Rida untuk menjawabnya. Aku anak perempuan masih belia, tidak seharusnya disibukkan mencari tahu tentang itu. Kalau sudah besar semua juga akan kuketahui. Tapi di sisi lain aku sungguh penasaran.
Kalau Rida datang. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Ia akan mengganti Ibu untuk mengurusi dapur. Aku tahu Rida melakukan itu semata untuk berbakti pada Ibu dan Ayah, walaupun keputusannya bercadar ditentang. Tampaknya Rida tidak ingin gara-gara itu, tidak terjalin lagi komunikasi.
Sebenarnya pembicaraan mereka sangat minim. Mereka saling ngobrol seperlunya saja. Dulu, Ayah paling bawel mewawancari Rida tatkala kembali ke rumah lagi. Bagaimana sekolahnya di Makassar? Rida juga akan menimpalinya tak kalah bawel. Bahkan Rida akan balik bertanya keadaan kebun dan sawah yang dikelola Ayah. Obrolan seperti itu tidak nampak lagi setelah Rida memutuskan bercadar. Suasananya garing betul.
Kegiatan Rida yang lain tatkala berada di rumah, lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Dari balik pintu aku kerap mendengar suaranya yang lirih membaca Quran. Aku juga kerap melihatnya salat di waktu pagi. Dan sesekali ia keluar rumah. Mengunjungi sanak famili.
Sebenarnya aku tidak menginginkan Rida keluar rumah. Karena sering kudengar obrolan orang-orang tatkala melihat Rida bercadar, mereka mengatai perempuan ninja. Paling menyakitkan, mulut mereka teramat ringan bilang Rida teroris. Aku meradang apabila mendengarnya, rasanya aku ingin sekali menonjok mulut-mulut mereka.
Aku memanglah masih belia, namun sudah paham defenisi teroris. Apalagi aku sering mendapati ayah menonton berita teroris di televisi. Aku berani bertaruh kalau Rida bukan teroris. Ia Kakak yang sangat baik dan penyayang. Ia menyayangi Ayah, Ibu, Nenek dan aku satu-satunya adiknya.
Saat Rida pulang ke rumah. Aku sering menggeleda tasnya. Dan di sana tidak kutemukan barang-barang yang membahayakan, seperti bahan peledak. Lantas mengapa mulut mereka begitu mudah mengucapkan Rida adalah teroris? Rida bukan orang jahat, dia tidak pernah membunuh orang. Dia tidak memiliki komplotan untuk berbuat jahat. Yang ada hanyalah teman-teman perempuannya. Semuanya juga baik-baik.
Di kampung tempat tinggalku ini memang aneh. Mengapa kukatakan aneh. Orang-orang di sini tampaknya belum terlalu memahami perbedaan. Bukan berarti aku sudah betul-betul memahami perbedaan itu sendiri. Kerap kali kusaksikan keributan-keributan kecil di sini. Gara-gara tidak bisa menerima perbedaan, misalnya tentang suku dan juga agama.
Orang yang beragama lain sering dicerita begini dan begitu. Terkesan mengejek kepercayaan mereka. Aku tidak sepakat perbuatan seperti itu. Di sekolah, guru agamaku kerap menegaskan pada kami pentingnya toleransi, tatkala ada salah seorang siswa mengejek siswa lain yang berkulit hitam.